Rabu, 26 Juni 2013

Gereja institusional ‘bangkrut.’ Sekarang apa?

 

24/11/2010
Gereja institusional ‘bangkrut.’ Sekarang apa? thumbnail
Pastor William Grimm MM
Liputan media tentang buku terbaru Paus Benediktus yang berisi wawancara terfokus pada apa yang dikatakan atau tidak dikatakan paus tentang kondom. Paus agaknya dikutuk sehingga apa pun yang dia katakan di depan umum akan disalahartikan dan disalahtafsirkan, umumnya karena apa yang dikatakannya tidak jelas dan tidak mempertimbangkan audiens. Dia juga tidak mempedulikan cara berkomunikasi yang berjalan sekarang ini.
Upaya Vatikan untuk berkelit dan tidak mau dikontrol malah membuat keadaan menjadi lebih buruk. Setelah lebih dari seribu tahun berlatih, Vatikan masih belum menguasai seni berbicara untuk bisa membeberkan sesuatu secara jelas, ringkas, dan bisa dipahami.
Melihat daya tarik media tentang kondom, paus membuat pernyataan yang bahkan lebih signifikan. Mengenai skandal pelecehan anak dan upaya para pemimpin Gereja untuk menutup-nutupinya, Paus mengakuinya dengan mengatakan “perbuatan itu sendiri ditutup-tutupi dan dirahasiakan selama puluhan tahun.” Lalu, lanjut Paus dengan membuat pengakuan yang menakjubkan: “Itulah deklarasi kebangkrutan sebuah institusi yang mottonya adalah kasih.”
Sebuah deklarasi kebangkrutan!
Meskipun pengakuan Paus itu baru, kebangkrutan “institusi” sebenarnya bukanlah hal yang baru.
Pada abad 18, Gereja institusional menunjukkan bahwa dia bangkrut secara filosofis karena tidak mampu terlibat dalam tren baru dalam pemikiran yang menghasilkan demokrasi dan perhatian terhadap hak asasi manusia.
Pada abad ke-19, para pakar sains dan pakar Kitab Suci mengekspos kebangkrutan intelektual Gereja sebagai institusi.
Abad ke-20 menggarisbawahi kebangkrutan politik Gereja, ketika para pemimpin Gereja tidak mampu mencegah dan tidak mampu menghentikan dua perang dunia dan Holocaust yang terjadi di bagian dunia yang telah didominasi agama Kristen selama berabad-abad.
Kini, di abad ke-21, kebangkrutan moral dalam Gereja sebagai institusi menjadi sorotan bukan saja karena para pemimpin Gereja berusaha menutup-nutupinya, tapi juga karena munculnya berbagai berita tentang pemecatan para pejabat Vatikan termasuk sekretaris pribadi Paus Yohanes Paulus II dan sekretaris negara oleh Legionaries of Christ yang menolak setiap investigasi terhadap pendirinya meskipun sudah ada bukti yang diterbitkan. (Menurut laporan, satu-satunya pejabat Vatikan yang menolak untuk menerima uang suap dari kelompok tersebut adalah Kardinal Ratzinger, yang sekarang menjadi Paus).
Kebangkrutan kepemimpinan institusional dalam Gereja (sebagai lawan dari Gereja sebagai Umat Allah) jauh melampaui dan jauh lebih mendalam ketimbang skandal pelecehan seksual.
Jika sebuah organisasi menyatakan bangkrut, seringkali itu berarti bahwa organisasi itu tidak ada lagi. Hal itu tidak perlu terjadi pada Gereja, karena Tuhan telah memberi kita mandat untuk mewartakan Kabar Gembira di mana saja dan untuk selamanya.
Konsekuensi lain dari bangkrut mungkin saja adalah reorganisasi yang dipimpin oleh seseorang dari luar, yang tidak termasuk dalam kepemimpinan yang menyebabkan kebangkrutan tersebut.
Namun, di mana kita bisa temukan seseorang untuk membantu menemukan arah baru dan cara baru untuk meng-Gereja?
Tempat untuk dicari adalah bagian-bagian dunia yang, tidak seperti di Eropa, Gereja Katolik bertumbuh subur. Itu berarti Afrika, Amerika dan Asia adalah tempatnya.
Sayangnya, Vatikan adalah kolonialisme Eropa bagian akhir dan karena itu kaki-tangannya di Afrika, Amerika, dan Asia tidak mungkin bersikap rendah hati untuk meminta bantuan. Berbagai upaya belakangan ini untuk kembali meng-Eropa-kan Gereja dalam berpikir dan beribadah di berbagai benua non-Eropa merupakan sebuah parodi kolonialisme lama. Kolonialisme lama  ini memiliki anak-anak di India yang belajar tentang Battle of Hastings dan anak-anak lain di Aljazair yang belajar cara lelulur “kita” menaklukkan monarki Prancis tahun 1789.
Salah satu tanda pengharapan adalah bahwa Paus Benediktus telah menunjukkan kerendahan hati dan kejujuran untuk mengakui kebenaran. Mudah-mudahan, kerendahan hati yang sama itu akan memicu pencarian di luar koridor kebangkrutan Vatikan untuk menemukan cara-cara memulihkan Gereja sehingga Gereja benar-benar menjadi “tanda dan sakramen keselamatan.”
Oleh Pastor William Grimm MM. Dia adalah imam yang berbasis di Tokyo dan salah satu penasehat UCA News, serta mantan pemimpin redaksi “Katorikku Shimbun,” mingguan Katolik Jepang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar