10/01/2012
Di kalangan Gereja-gereja sendiri ada anggapan bahwa ada kelompok tertentu di negeri ini, walaupun mengaku sebagai bagian dari umat Kristen, patut dilarang kehadirannya, sebab beberapa dari kelompok tersebut memiliki pengajaran yang tidak sesuai dengan Kekristenan. Salah satu kelompok tersebut yang kini menjadi perhatian adalah Saksi-Saksi Yehova (SSY).
Menanggapi hal itu, pada Kamis (05/01) di Ruang Sidang Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Salemba 10, Jakarta 10, diadakan Diskusi Awal Tahun 2012.
Seperti dirilis pada situs resmi PGI, Acara Diskusi Awal Tahun 2012 ini dihadiri oleh kalangan akademik dan teolog, ANBTI dan Sinode GKI. Diskusi ini membahas perkembangan situasi bangsa Indonesia yang menyangkut kebebasan beribadah, kasus kekerasan yang semakin marak dan mengenai Saksi-Saksi Yehuwa (SSY) yang bernama resmi Saksi-saksi Yehuwa di Indonesia (SSYI).
Pdt. Prof. Dr. Jan S. Aritonang melalui makalahnya yang berjudul ‘Gereja dan Kebebasan Beragama di Indonesia’ menuangkan beberapa poin penting terkait SSY yang disampaikannya kepada forum.
Ia mengatakan walaupun konstitusi negara menjamin hak dan kebebasan setiap orang atau tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya serta dalam menjalankan hak dan kebebasannya, warga negara tersebut wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan yang telah ditetapkan undang-undang termasuk juga SSY.
“Berdasarkan UUD itu kita bisa menyoroti realitas beragama di negara kita ini, apakah hak dan kebebasan itu sudah ditegakkan, atau yang lebih ditekankan justru adalah pembatasannya” tulisnya.
Sikap Gereja kepada Saksi Yehuwa
Walau tidak dihadiri perwakilan SSY yang telah diundang sejak 21 Desember 2011 lalu. Diskusi tersebut mendapat enam hal penting yang dirangkum sebagai catatan kepada Gereja-gereja dan PGI dalam menyikapi SSY; diantaranya.
Pertama, Gereja-gereja maupun PGI tidak berhak membubarkan SSYI, seandainya pun sebagian besar ajarannya sangat berbeda dari ajaran Gereja-gereja yang sudah lebih dulu ada. Sehingga Gereja-gereja maupun PGI juga tidak pada tempatnya meminta pemerintah untuk membubarkan SSYI, kecuali kalau SSYI nyata-nyata melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku di negeri ini.
Sedang terkait kunjungan mereka ke rumah-rumah, bila itu dilakukan dengan sopan dan tidak memaksa, dan selama penghuni rumah tidak menyatakan diri terganggu lalu mengadukan mereka ke polisi, maka tindakan mereka itu tidak dapat dikategorikan sebagai penyebab keresahan.
Kedua, walaupun Gereja-gereja menilai bahwa sebagian besar ajaran SSYI berbeda atau bertentangan dengan ajaran dan keyakinan Gereja-gereja di Indonesia, mereka itu tidak bisa begitu saja dicap sebagai bidat atau pengajar sesat, sebab bisa saja tuduhan yang sama dialamatkan penganut agama lain kepada Gereja-gereja.
Dan perbedaan ajaran itu juga tidak boleh menjadi alasan atau dasar pertimbangan bagi pemerintah untuk melarang SSYI ataupun komunitas religius lainnya. Sebagai gereja kita tidak setuju atas tindakan pemerintah sekarang ini terhadap Jemaah Ahmadiyah; karena itu sikap yang sama juga perlu kita perlihatkan sehubungan dengan keberadaan SSYI.
Ketiga, bila Gereja-gereja menilai bahwa ajaran SSY bertentangan dengan ajarannya dan berbahaya bagi iman warganya, yang harus dilakukan oleh Gereja-gereja adalah mendidik, membina sekaligus membentengi iman warganya dengan memberikan pembekalan yang intensif, tak kalah intensifnya dari SSY, agar warga gereja tidak terpengaruh oleh beranekaragam ajaran yang berbeda dari ajaran resmi Gereja.
SSY hanyalah satu di antara sekian banyak aliran atau ajaran yang berbeda dari ajaran Gereja; tidak mungkin Gereja melarang semua itu, atau meminta pemerintah melarangnya. Tidak baik bila Gereja meminjam tangan atau kuasa pemerintah untuk membasmi ajaran tertentu. Sebab bisa saja pihak lain meminjam tangan pemerintah untuk melarang gereja, seperti yang terlihat dalam kasus GKI Taman Yasmin, hal yang pasti tidak disetujui Gereja-gereja.
Keempat, sebelum kita menyatakan SSY ataupun ajaran lain menyimpang atau sesat, sebaiknya kita mendalami ajaran mereka dari sumber primer, yaitu tulisan-tulisan yang mereka hasilkan sendiri.
Kiranya kita tidak menilai SSY atau siapa pun berdasarkan sumber-sumber sekunder, tertier, dst. Banyak literatur yang berisi kecaman dan tuduhan kepada SSY, termasuk dalam bahasa Indonesia, yang tidak didasar-kan pada sumber resmi, sehingga pihak SSY dengan mudah akan menyanggahnya.
Kelima, kita mengundang dan terus melakukan pendekatan dan menyampaikan ajakan kepada SSYI agar ambil bagian dalam pertemuan-pertemuan antar organisasi keagamaan, sehingga mereka tidak memencilkan diri atau merasa dipencilkan dari pergaulan antar sesama umat beragama.
Harus diakui, selama ini tidak mudah mengajak dan menghadirkan mereka dalam pertemuan seperti itu; mereka mengemukakan macam-macam alasan untuk menolak. Kita ingatkan mereka bahwa kehadiran mereka justru untuk kebaikan mereka, untuk menepis atau mengurangi prasangka dan penilaian negatif atas mereka.
Keenam, kita mengingatkan mereka agar tidak melakukan kegiatan yang bisa mengundang reaksi atau tuduhan bahwa mereka menimbulkan gangguan atau keresahan. Kalau mereka berkunjung ke rumah kita atau warga Gereja kita, kita ingatkan agar mereka tidak memberkesan membujuk ataupun memaksa, karena datang berkali-kali. Kita ingatkan juga agar mereka tidak menyampaikan ajaran SSY sambil menyalahkan ajaran gereja atau agama lain.
Mengenai Trinitas, misalnya; SSY boleh saja menyatakan bahwa mereka tidak menganut ajaran itu, tetapi kita ingatkan mereka agar tidak menyatakan ajaran gereja lain adalah keliru, sebab setiap ajaran memiliki landasan teologis masing-masing. Kalau setelah kita ingatkan, mereka masih terus melakukan hal itu, maka kita boleh mengadukan mereka kepada yang berwajib, dengan menyampaikan bukti-bukti konkret dari tindakan mereka.
SSY ke Indonesia
Sejak awal, berbagai ajaran dan praktik dari Saksi-Saksi Yehova (SSY) yang juga menggunakan nama lain, yaitu Persekutuan Menara Pengawal (PMP) dan Perkumpulan Siswa-siswa Alkitab (PSSA) – sudah mengundang kontroversi dari Gereja-gereja arus utama (Lutheran, Calvinis, Anglican, Methodist, Baptis), bahkan dari aliran awal SSY sendiri, yakni Gereja Adventis.
Menurut sumber yang diterbitkan SSY sendiri, misionaris pertama SSY ke Indonesia, yaitu Frank Rice dari Australia, telah tiba di Batavia Juni 1931. Orang Indonesia pertama yang menjadi warga sekaligus aktivisnya adalah Theodorus Ratu, yang bekerja di Jawa, Sumatera dan Sulawesi Utara sejak 1933 (kendati baru dibaptis di Singapore tahun 1936). Pada tahun 1964 anggotanya sudah 4000-an dan tahun 1975 menjadi 11.000-an.
Karena mendapat pengaduan dari masyarakat, baik yang beragama Kristen maupun yang beragama lain, dan juga penilaian negatif dari beberapa instansi pemerintah (a.l. SSY menimbulkan keresahan dan gangguan, karena SSY rajin berkunjung ke rumah-rumah), Jaksa Agung melalui SK tertanggal 7 Desember 1976 secara resmi melarang aliran ini berkiprah di negeri ini. Tetapi mereka tidak menghentikan kegiatan, melainkan melan-jutkannya, dengan memakai nama lain yang sudah disebut di atas (PMP dasn PSSA).
Pada masa kepresidenan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), atas nama demokrasi, HAM, dan kebebasan beragama/berkeyakinan, melalui SK Jaksa Agung tertanggal 1 Juni 2001 SSY diizinkan kembali untuk berkiprah secara resmi. Di dalam SK itu a.l. dinyatakan: “Kepada Ajaran/Perkumpulan Siswa-siswa Alkitab/Saksi Yehova diperbolehkan hidup beraktivitas berdampingan bersama ajaran/aliran keagamaan lainnya yang ada di Indonesia; kecuali apabila di kemudian hari terdapat pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka Surat Keputusan ini akan ditinjau kembali.”
SK ini menimpulkan kehebohan dan pro-kontra, terutama di kalangan gereja-gereja di Indonesia. Sebagian besar Gereja-gereja itu selama ini mencap SSY sebagai aliran/ajaran sesat, sehingga mereka meminta agar pemerintah meninjau kembali (alias mencabut) SK tersebut. PGI juga diminta untuk ikut memperjuangkan pelarangan SSY.
Dalam kenyataan-nya Saksi-saksi Yehuwa di Indonesia (SSYI) tetap eksis, bahkan semakin berkembang. Balai Kerajaannya (demikian nama tempat ibadah dan kegiatannya) didirikan di mana-mana (di Jakarta saja sekitar 10 buah, a.l. di Gunung Sahari IV/2, dekat GKI Gunsa) dan Kantor Pusatnya beralamat Jalan Kelinci Raya no. 36 Jakarta Pusat 10710, telp. 3811918. (PGI/TimPPGI)
Menanggapi hal itu, pada Kamis (05/01) di Ruang Sidang Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Salemba 10, Jakarta 10, diadakan Diskusi Awal Tahun 2012.
Seperti dirilis pada situs resmi PGI, Acara Diskusi Awal Tahun 2012 ini dihadiri oleh kalangan akademik dan teolog, ANBTI dan Sinode GKI. Diskusi ini membahas perkembangan situasi bangsa Indonesia yang menyangkut kebebasan beribadah, kasus kekerasan yang semakin marak dan mengenai Saksi-Saksi Yehuwa (SSY) yang bernama resmi Saksi-saksi Yehuwa di Indonesia (SSYI).
Pdt. Prof. Dr. Jan S. Aritonang melalui makalahnya yang berjudul ‘Gereja dan Kebebasan Beragama di Indonesia’ menuangkan beberapa poin penting terkait SSY yang disampaikannya kepada forum.
Ia mengatakan walaupun konstitusi negara menjamin hak dan kebebasan setiap orang atau tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya serta dalam menjalankan hak dan kebebasannya, warga negara tersebut wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan yang telah ditetapkan undang-undang termasuk juga SSY.
“Berdasarkan UUD itu kita bisa menyoroti realitas beragama di negara kita ini, apakah hak dan kebebasan itu sudah ditegakkan, atau yang lebih ditekankan justru adalah pembatasannya” tulisnya.
Sikap Gereja kepada Saksi Yehuwa
Walau tidak dihadiri perwakilan SSY yang telah diundang sejak 21 Desember 2011 lalu. Diskusi tersebut mendapat enam hal penting yang dirangkum sebagai catatan kepada Gereja-gereja dan PGI dalam menyikapi SSY; diantaranya.
Pertama, Gereja-gereja maupun PGI tidak berhak membubarkan SSYI, seandainya pun sebagian besar ajarannya sangat berbeda dari ajaran Gereja-gereja yang sudah lebih dulu ada. Sehingga Gereja-gereja maupun PGI juga tidak pada tempatnya meminta pemerintah untuk membubarkan SSYI, kecuali kalau SSYI nyata-nyata melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku di negeri ini.
Sedang terkait kunjungan mereka ke rumah-rumah, bila itu dilakukan dengan sopan dan tidak memaksa, dan selama penghuni rumah tidak menyatakan diri terganggu lalu mengadukan mereka ke polisi, maka tindakan mereka itu tidak dapat dikategorikan sebagai penyebab keresahan.
Kedua, walaupun Gereja-gereja menilai bahwa sebagian besar ajaran SSYI berbeda atau bertentangan dengan ajaran dan keyakinan Gereja-gereja di Indonesia, mereka itu tidak bisa begitu saja dicap sebagai bidat atau pengajar sesat, sebab bisa saja tuduhan yang sama dialamatkan penganut agama lain kepada Gereja-gereja.
Dan perbedaan ajaran itu juga tidak boleh menjadi alasan atau dasar pertimbangan bagi pemerintah untuk melarang SSYI ataupun komunitas religius lainnya. Sebagai gereja kita tidak setuju atas tindakan pemerintah sekarang ini terhadap Jemaah Ahmadiyah; karena itu sikap yang sama juga perlu kita perlihatkan sehubungan dengan keberadaan SSYI.
Ketiga, bila Gereja-gereja menilai bahwa ajaran SSY bertentangan dengan ajarannya dan berbahaya bagi iman warganya, yang harus dilakukan oleh Gereja-gereja adalah mendidik, membina sekaligus membentengi iman warganya dengan memberikan pembekalan yang intensif, tak kalah intensifnya dari SSY, agar warga gereja tidak terpengaruh oleh beranekaragam ajaran yang berbeda dari ajaran resmi Gereja.
SSY hanyalah satu di antara sekian banyak aliran atau ajaran yang berbeda dari ajaran Gereja; tidak mungkin Gereja melarang semua itu, atau meminta pemerintah melarangnya. Tidak baik bila Gereja meminjam tangan atau kuasa pemerintah untuk membasmi ajaran tertentu. Sebab bisa saja pihak lain meminjam tangan pemerintah untuk melarang gereja, seperti yang terlihat dalam kasus GKI Taman Yasmin, hal yang pasti tidak disetujui Gereja-gereja.
Keempat, sebelum kita menyatakan SSY ataupun ajaran lain menyimpang atau sesat, sebaiknya kita mendalami ajaran mereka dari sumber primer, yaitu tulisan-tulisan yang mereka hasilkan sendiri.
Kiranya kita tidak menilai SSY atau siapa pun berdasarkan sumber-sumber sekunder, tertier, dst. Banyak literatur yang berisi kecaman dan tuduhan kepada SSY, termasuk dalam bahasa Indonesia, yang tidak didasar-kan pada sumber resmi, sehingga pihak SSY dengan mudah akan menyanggahnya.
Kelima, kita mengundang dan terus melakukan pendekatan dan menyampaikan ajakan kepada SSYI agar ambil bagian dalam pertemuan-pertemuan antar organisasi keagamaan, sehingga mereka tidak memencilkan diri atau merasa dipencilkan dari pergaulan antar sesama umat beragama.
Harus diakui, selama ini tidak mudah mengajak dan menghadirkan mereka dalam pertemuan seperti itu; mereka mengemukakan macam-macam alasan untuk menolak. Kita ingatkan mereka bahwa kehadiran mereka justru untuk kebaikan mereka, untuk menepis atau mengurangi prasangka dan penilaian negatif atas mereka.
Keenam, kita mengingatkan mereka agar tidak melakukan kegiatan yang bisa mengundang reaksi atau tuduhan bahwa mereka menimbulkan gangguan atau keresahan. Kalau mereka berkunjung ke rumah kita atau warga Gereja kita, kita ingatkan agar mereka tidak memberkesan membujuk ataupun memaksa, karena datang berkali-kali. Kita ingatkan juga agar mereka tidak menyampaikan ajaran SSY sambil menyalahkan ajaran gereja atau agama lain.
Mengenai Trinitas, misalnya; SSY boleh saja menyatakan bahwa mereka tidak menganut ajaran itu, tetapi kita ingatkan mereka agar tidak menyatakan ajaran gereja lain adalah keliru, sebab setiap ajaran memiliki landasan teologis masing-masing. Kalau setelah kita ingatkan, mereka masih terus melakukan hal itu, maka kita boleh mengadukan mereka kepada yang berwajib, dengan menyampaikan bukti-bukti konkret dari tindakan mereka.
SSY ke Indonesia
Sejak awal, berbagai ajaran dan praktik dari Saksi-Saksi Yehova (SSY) yang juga menggunakan nama lain, yaitu Persekutuan Menara Pengawal (PMP) dan Perkumpulan Siswa-siswa Alkitab (PSSA) – sudah mengundang kontroversi dari Gereja-gereja arus utama (Lutheran, Calvinis, Anglican, Methodist, Baptis), bahkan dari aliran awal SSY sendiri, yakni Gereja Adventis.
Menurut sumber yang diterbitkan SSY sendiri, misionaris pertama SSY ke Indonesia, yaitu Frank Rice dari Australia, telah tiba di Batavia Juni 1931. Orang Indonesia pertama yang menjadi warga sekaligus aktivisnya adalah Theodorus Ratu, yang bekerja di Jawa, Sumatera dan Sulawesi Utara sejak 1933 (kendati baru dibaptis di Singapore tahun 1936). Pada tahun 1964 anggotanya sudah 4000-an dan tahun 1975 menjadi 11.000-an.
Karena mendapat pengaduan dari masyarakat, baik yang beragama Kristen maupun yang beragama lain, dan juga penilaian negatif dari beberapa instansi pemerintah (a.l. SSY menimbulkan keresahan dan gangguan, karena SSY rajin berkunjung ke rumah-rumah), Jaksa Agung melalui SK tertanggal 7 Desember 1976 secara resmi melarang aliran ini berkiprah di negeri ini. Tetapi mereka tidak menghentikan kegiatan, melainkan melan-jutkannya, dengan memakai nama lain yang sudah disebut di atas (PMP dasn PSSA).
Pada masa kepresidenan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), atas nama demokrasi, HAM, dan kebebasan beragama/berkeyakinan, melalui SK Jaksa Agung tertanggal 1 Juni 2001 SSY diizinkan kembali untuk berkiprah secara resmi. Di dalam SK itu a.l. dinyatakan: “Kepada Ajaran/Perkumpulan Siswa-siswa Alkitab/Saksi Yehova diperbolehkan hidup beraktivitas berdampingan bersama ajaran/aliran keagamaan lainnya yang ada di Indonesia; kecuali apabila di kemudian hari terdapat pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka Surat Keputusan ini akan ditinjau kembali.”
SK ini menimpulkan kehebohan dan pro-kontra, terutama di kalangan gereja-gereja di Indonesia. Sebagian besar Gereja-gereja itu selama ini mencap SSY sebagai aliran/ajaran sesat, sehingga mereka meminta agar pemerintah meninjau kembali (alias mencabut) SK tersebut. PGI juga diminta untuk ikut memperjuangkan pelarangan SSY.
Dalam kenyataan-nya Saksi-saksi Yehuwa di Indonesia (SSYI) tetap eksis, bahkan semakin berkembang. Balai Kerajaannya (demikian nama tempat ibadah dan kegiatannya) didirikan di mana-mana (di Jakarta saja sekitar 10 buah, a.l. di Gunung Sahari IV/2, dekat GKI Gunsa) dan Kantor Pusatnya beralamat Jalan Kelinci Raya no. 36 Jakarta Pusat 10710, telp. 3811918. (PGI/TimPPGI)
After reading this article, people also read
- St. Monika hapus air mata para janda Katolik Jun 25, 2013
- Agama-agama terlihat lamban Go Green, Paus Fransiskus jadi inspirasi Jun 20, 2013
- 50 tahun Ensiklik Pacem in Terris, masih relevan di era globalisasi Jun 19, 2013
- Uskup: Pemerintah dan pengusaha penyebab kerusakan lingkungan Jun 13, 2013
- Gereja-gereja di Indonesia butuh proses untuk mencapai kesatuan Jun 11, 2013
- Menggelorakan keberagaman Indonesia Jun 05, 2013
- Gereja Katolik bekerja keras menyatukan warga Khmer dan Vietnam di Kamboja May 31, 2013
- 15 tahun berlalu, Bu Sumarsih masih berharap, pelaku pembunuhan anaknya diadili May 30, 2013
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar