Perwujudan dan pelaksanaan kedaulatan universal Allah atas makhluk-makhluk ciptaan-Nya, atau sarana yang Ia gunakan untuk tujuan tersebut. (Mz 103:19) Frasa ini khususnya digunakan untuk perwujudan kedaulatan Allah melalui suatu pemerintahan berbentuk kerajaan yang dikepalai oleh Putra-Nya, Kristus Yesus.
Kata yang diterjemahkan ”kerajaan” dalam Kitab-Kitab Yunani Kristen adalah ba·si·lei′a, yang berarti ”sebuah kerajaan, wilayah, daerah atau negeri yang diperintah oleh seorang raja; kuasa, wewenang, daerah kekuasaan, pemerintahan seorang raja; kebesaran kerajaan, gelar dan kehormatan seorang raja”. (The Analytical Greek Lexicon, 1908, hlm. 67) Markus dan Lukas sering kali menggunakan frasa ”kerajaan Allah”, sedangkan dalam catatan Matius frasa yang paralel, ”kerajaan surga”, muncul sebanyak kira-kira 30 kali.—Bdk. Mrk 10:23 dan Luk 18:24 dengan Mat 19:23, 24; lihat KERAJAAN; LANGIT DAN SURGA (Surga).
Dalam hal struktur dan fungsinya, pemerintahan Allah adalah suatu teokrasi sejati (dari Yn. the·os′, allah, dan kra′tos, pemerintahan), pemerintahan oleh Allah. Istilah ”teokrasi” diakui berasal dari sejarawan Yahudi bernama Yosefus dari abad pertama M, yang tampaknya menciptakan istilah ini dalam karyanya Against Apion (II, 164, 165 [17]). Mengenai pemerintahan yang dibentuk atas Israel di Sinai, Yosefus menulis, ”Beberapa kelompok masyarakat mempercayakan kekuasaan politik tertingginya kepada monarki, kelompok-kelompok lain kepada oligarki, tetapi ada pula yang mempercayakannya kepada rakyat. Akan tetapi, pemberi hukum kita tidak tertarik kepada salah satu pun di antara bentuk-bentuk pemerintahan tersebut, sebaliknya, kepada negaranya ia memberikan suatu bentuk yang—jika boleh menggunakan istilah yang dipaksakan—dapat disebut suatu ’teokrasi [Yn., the·o·kra·ti′an]’, dengan menempatkan semua kedaulatan dan wewenang di tangan Allah.” Tentu saja, agar menjadi suatu teokrasi sejati, pemerintahan itu tidak mungkin ditetapkan oleh legislator manusia mana pun, misalnya oleh Musa, tetapi harus ditetapkan dan dibentuk oleh Allah. Catatan Alkitab memperlihatkan bahwa demikianlah halnya.
Asal Mula Istilahnya. Istilah ”raja” (Ibr., me′lekh) tampaknya mulai digunakan dalam bahasa manusia setelah Air Bah seluas dunia. Kerajaan yang pertama di bumi adalah kerajaan yang diperintah oleh Nimrod, ”pemburu perkasa yang menentang Yehuwa”. (Kej 10:8-12) Setelah itu, sepanjang periode yang berlangsung sampai zaman Abraham, banyak negara-kota serta bangsa mulai terbentuk dan raja-raja manusia bertambah jumlahnya. Kecuali kerajaan yang diperintah oleh Melkhizedek, sang raja-imam Salem (yang menjadi gambaran nubuat sang Mesias [Kej 14:17-20; Ibr 7:1-17]), tidak ada satu pun kerajaan di bumi yang mewakili pemerintahan Allah atau dibentuk oleh-Nya. Orang-orang juga menjadikan allah-allah palsu yang mereka sembah sebagai raja karena mereka menganggap allah-allah itu memiliki kesanggupan untuk menganugerahi manusia kekuasaan untuk memerintah. Karena itu, apabila Yehuwa menerapkan gelar ”Raja [Me′lekh]” pada diri-Nya, seperti yang terdapat dalam tulisan-tulisan pasca-Air Bah di Kitab-Kitab Ibrani, Allah hanya menggunakan gelar yang telah dibentuk dan dipakai oleh manusia. Dengan menggunakan istilah ini, Allah memperlihatkan bahwa Dialah, dan bukan para penguasa manusia yang lancang atau allah-allah buatan manusia, yang harus dipandang dan ditaati sebagai ”Raja”.—Yer 10:10-12.
Tentu saja, Yehuwa adalah Penguasa Tertinggi jauh sebelum kerajaan-kerajaan manusia berkembang, malah sebelum manusia ada. Sebagai Allah yang benar dan Pencipta mereka, Dia direspek dan ditaati oleh putra-putra-Nya, yaitu para malaikat, yang berjumlah jutaan. (Ayb 38:4-7; 2Taw 18:18; Mz 103:20-22; Dan 7:10) Tidak soal gelar-Nya pada waktu itu, sejak awal penciptaan Ia diakui sebagai Pribadi yang kehendak-Nya memang paling unggul.
Pemerintahan Allah pada Awal Sejarah Manusia. Manusia pertama, Adam dan Hawa, juga mengenal Yehuwa sebagai Allah, Pencipta langit dan bumi. Mereka mengakui wewenang dan hak-Nya untuk memberikan perintah, untuk meminta orang-orang melakukan tugas tertentu atau tidak melakukan tindakan tertentu, untuk menentukan negeri yang harus didiami dan digarap, serta untuk mendelegasikan wewenang atas ciptaan-Nya yang lain. (Kej 1:26-30; 2:15-17) Adam memiliki kesanggupan untuk menciptakan kata-kata (Kej 2:19, 20), tetapi tidak ada bukti bahwa ia menciptakan gelar ”raja [me′lekh]” untuk Allah dan Penciptanya, meskipun ia mengakui wewenang tertinggi Yehuwa.
Sebagaimana disingkapkan dalam pasal-pasal pertama buku Kejadian, pelaksanaan kedaulatan Allah atas manusia di Eden penuh dengan kebaikan dan tidak terlalu mengekang. Agar dapat menjalin hubungan dengan Allah, manusia perlu taat, seperti seorang putra kepada bapaknya. (Bdk. Luk 3:38.) Manusia tidak perlu memenuhi sederet kaidah hukum yang sangat panjang (bdk. 1Tim 1:8-11); tuntutan-tuntutan Allah sederhana dan bertujuan. Selain itu, tidak ada petunjuk bahwa Adam dibuat merasa terkekang karena setiap tindakannya terus-menerus diawasi dan dikritik; sebaliknya, Allah berkomunikasi dengan manusia sempurna tersebut, tampaknya secara berkala sesuai dengan kebutuhan.—Kej psl. 1-3.
Perwujudan baru pemerintahan Allah ditetapkan. Pelanggaran terhadap perintah Allah, yang secara terang-terangan dilakukan oleh pasangan manusia pertama atas hasutan salah satu putra rohani Allah, sebenarnya merupakan pemberontakan terhadap wewenang ilahi. (Kej 3:17-19; lihat POHON [Sebagai Kiasan].) Sikap yang diambil oleh pribadi roh yang menjadi Musuh (Ibr., sa·tan′) Allah merupakan tantangan yang membutuhkan pembuktian, karena menyangkut sengketa keabsahan kedaulatan universal Yehuwa. (Lihat YEHUWA [Sengketa utama, sengketa moral].) Bumi, tempat diajukannya sengketa itu, adalah tempat yang cocok untuk menyelesaikannya.—Pny 12:7-12.
Pada waktu menjatuhkan vonis atas para pemberontak pertama itu, Allah Yehuwa mengucapkan suatu nubuat dengan frasa simbolis, yang mengumumkan maksud-tujuan-Nya untuk menggunakan suatu sarana, yaitu suatu ’benih’, untuk meremukkan pasukan pemberontak secara tuntas. (Kej 3:15) Dengan demikian, pemerintahan Yehuwa, yaitu perwujudan kedaulatan-Nya, akan memiliki aspek atau perwujudan baru sebagai tanggapan atas pemberontakan yang telah terjadi. Penyingkapan progresif ”rahasia-rahasia suci kerajaan” (Mat 13:11) memperlihatkan bahwa aspek baru ini menyangkut pembentukan suatu pemerintahan tambahan (sekunder), yakni badan pemerintahan yang dikepalai oleh seorang wakil penguasa. Janji mengenai ’benih’ itu terwujud melalui kerajaan Kristus Yesus dalam persatuan dengan rekan-rekannya yang terpilih. (Pny 17:14; lihat YESUS KRISTUS [Kedudukannya yang Penting dalam Maksud-Tujuan Allah].) Sejak saat diucapkannya janji di Eden itu, perkembangan progresif maksud-tujuan Allah untuk menghasilkan ’benih’ Kerajaan ini menjadi tema utama Alkitab dan kunci untuk memahami tindakan-tindakan Yehuwa terhadap para hamba-Nya serta terhadap umat manusia pada umumnya.
Tindakan Allah dalam mendelegasikan wewenang dan kekuasaan yang sangat besar kepada ciptaan-Nya (Mat 28:18; Pny 2:26, 27; 3:21) dengan cara ini patut mendapat perhatian oleh karena masalah integritas seluruh ciptaan Allah, yakni pengabdian mereka yang sepenuh hati kepada-Nya dan loyalitas mereka kepada kekepalaan-Nya, merupakan bagian penting dari sengketa yang diajukan oleh Musuh Allah. (Lihat INTEGRITAS [Berkaitan dengan sengketa utama].) Fakta bahwa Allah dapat dengan yakin mempercayakan wewenang dan kekuasaan yang demikian besar kepada ciptaan-Nya merupakan bukti yang menakjubkan tentang kekuatan moral pemerintahan-Nya, yang sangat berperan dalam pembenaran kedaulatan Yehuwa dan penyingkapan kepalsuan dakwaan musuh-Nya.
Kebutuhan akan pemerintahan ilahi menjadi nyata. Kondisi yang berkembang sejak dimulainya pemberontakan manusia hingga Air Bah dengan jelas menggambarkan bahwa umat manusia membutuhkan kepemimpinan Allah. Tidak lama kemudian masyarakat manusia harus bergumul dengan perpecahan, penyerangan fisik, dan pembunuhan. (Kej 4:2-9, 23, 24) Tidak disingkapkan sampai sejauh mana Adam yang berdosa itu, selama 930 tahun masa hidupnya, menjalankan wewenang patriarkat atas keturunannya yang sudah berlipat ganda. Namun, pada generasi ketujuh tampaknya terdapat ketidaksalehan yang memuakkan (Yud 14, 15), dan pada zaman Nuh (yang lahir sekitar 120 tahun setelah kematian Adam) kondisinya telah menjadi begitu bobrok sampai taraf ”bumi penuh dengan kekerasan”. (Kej 6:1-13) Makhluk-makhluk roh yang menyusup ke dalam masyarakat manusia, bertentangan dengan kehendak dan maksud-tujuan Allah, turut menghasilkan kondisi buruk tersebut.—Kej 6:1-4; Yud 6; 2Ptr 2:4, 5; lihat NEFILIM.
Meskipun bumi telah menjadi pusat pemberontakan, Yehuwa tidak melepaskan kekuasaan-Nya atas bumi. Air Bah seluas dunia adalah bukti bahwa Allah tetap memiliki kekuasaan dan kesanggupan untuk memberlakukan kehendak-Nya atas bumi, seperti halnya di bagian mana pun di alam semesta. Pada masa pra-Air Bah, Ia pun mempertunjukkan kerelaan-Nya untuk membimbing dan mengatur tindakan orang-orang yang mencari-Nya, seperti Habel, Henokh, dan Nuh. Kasus Nuh khususnya memberikan gambaran tentang bagaimana Allah menjalankan kepemimpinan atas orang yang rela menundukkan diri kepada-Nya di bumi, dengan memberinya perintah serta pengarahan, melindungi dan memberkati dia beserta keluarganya, dan sekaligus membuktikan bahwa Allah mengendalikan ciptaan lain di bumi—hewan dan burung. (Kej 6:9–7:16) Yehuwa juga membuat jelas bahwa Ia tidak akan mengizinkan masyarakat manusia yang acuh tak acuh merusak bumi tanpa akhir, dan bahwa Ia tidak menahan diri untuk melaksanakan penghakiman yang adil-benar terhadap para pelaku kesalahan apabila Ia menganggapnya patut. Selain itu, Ia mempertunjukkan kesanggupan-Nya yang tak terbatas untuk mengendalikan berbagai unsur di bumi, termasuk atmosfernya.—Kej 6:3, 5-7; 7:17–8:22.
Masyarakat pada awal pasca-Air Bah dan problem-problemnya. Setelah Air Bah, penyelenggaraan patriarkat tampaknya menjadi struktur dasar masyarakat, yang menghasilkan stabilitas dan ketertiban hingga taraf tertentu. Umat manusia harus ’memenuhi bumi’, yang tidak hanya mengharuskan mereka beranak cucu tetapi juga terus memperluas wilayah tempat tinggal manusia ke seluruh bola bumi. (Kej 9:1, 7) Masuk akal bahwa faktor-faktor itu sendiri akan mengurangi masalah sosial apa pun karena masalah-masalah umumnya akan terbatas dalam ruang lingkup keluarga saja sehingga memperkecil kemungkinan terjadinya gesekan yang sering kali berkembang dalam lingkungan yang padat penduduknya. Namun, proyek di Babel yang tidak sah menuntut tindakan yang bertolak belakang, yaitu mengkonsentrasikan massa, agar manusia tidak ”terpencar ke seluruh permukaan bumi”. (Kej 11:1-4; lihat BAHASA.) Lagi pula, Nimrod telah meninggalkan pengaturan patriarkat dan mendirikan ”kerajaan” (Ibr., mam·la·khah′) yang pertama. Sebagai orang Kus melalui garis keturunan Ham, ia telah melanggar batas wilayah keturunan Sem, tanah Assyur (Asiria), dan membangun kota-kota di sana sebagai bagian dari wilayah kekuasaannya.—Kej 10:8-12.
Allah membuyarkan konsentrasi massa di Dataran Syinar itu dengan mengacaukan bahasa manusia, tetapi pola pemerintahan yang diprakarsai Nimrod pada umumnya diikuti di negeri-negeri tempat berbagai keluarga umat manusia bermigrasi. Pada zaman Abraham (2018-1843 SM), kerajaan-kerajaan bermunculan mulai dari Mesopotamia-Asia sampai ke Mesir, negeri yang memberi raja mereka gelar ”Firaun” dan bukan Me′lekh. Tetapi pemerintahan di bawah seorang raja tidak mendatangkan keamanan. Raja-raja segera membentuk aliansi militer, melancarkan kampanye berupa agresi, penjarahan, dan penculikan ke tempat-tempat yang jauh. (Kej 14:1-12) Di beberapa kota, orang-orang asing menjadi sasaran serangan para pelaku homoseks.—Kej 19:4-9.
Oleh karena itu, meskipun orang-orang pasti berkumpul dalam komunitas yang padat untuk mendapatkan keamanan (bdk. Kej 4:14-17), mereka segera merasa perlu melindungi kota mereka dengan tembok dan akhirnya membentenginya terhadap serangan bersenjata. Catatan-catatan sekuler paling awal yang dikenal, yang banyak di antaranya berasal dari wilayah Mesopotamia tempat kerajaan Nimrod pada mulanya berkuasa, sarat dengan kisah-kisah tentang konflik, ketamakan, intrik, dan pertumpahan darah manusia. Dokumen-dokumen hukum non-Alkitab yang paling kuno yang telah ditemukan, misalnya dari Lipit-Istar, Esnunna, dan Hammurabi, memperlihatkan bahwa kehidupan manusia telah menjadi sangat kompleks, dengan gesekan sosial yang menimbulkan masalah pencurian, penipuan, kesulitan dalam bisnis, pertikaian tentang properti dan pembayaran sewa, persoalan mengenai pinjaman dan bunga, perselingkuhan dalam pernikahan, biaya pengobatan dan kegagalan pengobatan, kasus-kasus penyerangan dan pemukulan, dan banyak masalah lainnya. Meskipun Hammurabi menyebut dirinya ”raja yang efisien” dan ”raja yang sempurna”, pemerintahan dan undang-undangnya, sama seperti kerajaan-kerajaan politis lainnya pada zaman dahulu, tidak sanggup mengatasi problem-problem umat manusia yang berdosa. (Ancient Near Eastern Texts, diedit oleh J. B. Pritchard, 1974, hlm. 159-180; bdk. Ams 28:5.) Di semua kerajaan ini agama, tetapi bukan ibadat kepada Allah yang benar, menonjol. Walaupun imam-imam bekerja sama secara erat dengan golongan penguasa dan mendapat perkenan raja, hal itu tidak memperbaiki moral rakyatnya. Inskripsi-inskripsi keagamaan kuno berhuruf paku tidak berisi bimbingan moral ataupun sesuatu yang dapat memperbaiki keadaan rohani , tetapi justru memperlihatkan bahwa dewa-dewi yang disembah suka bertengkar, bengis, penuh hawa nafsu, dan tidak dikendalikan oleh standar atau tujuan yang adil-benar. Manusia membutuhkan kerajaan Allah Yehuwa apabila mereka ingin menikmati kehidupan yang damai dan bahagia.
Sehubungan dengan Abraham dan Keturunannya. Memang, individu-individu yang berpaling kepada Allah Yehuwa sebagai Kepala mereka tidak bebas dari masalah dan perselisihan pribadi. Namun, mereka dibantu untuk mengatasi masalah-masalah itu atau bertekun menghadapinya dengan cara yang selaras dengan standar-standar Allah yang adil-benar, tanpa menjadi bejat. Mereka diberi perlindungan dan kekuatan ilahi. (Kej 13:5-11; 14:18-24; 19:15-24; 21:9-13, 22-33) Oleh karena itu, setelah menunjukkan bahwa ’keputusan hukum Yehuwa berlaku di seluruh bumi’, sang pemazmur mengatakan tentang Abraham, Ishak, dan Yakub, ”Jumlah mereka masih sedikit, ya, sangat sedikit, dan sebagai penduduk asing di [Kanaan]. Dan mereka terus mengembara dari bangsa ke bangsa, dari satu kerajaan ke suku bangsa lainnya. [Yehuwa] tidak membiarkan seorang manusia pun mencurangi mereka, tetapi demi kepentingan mereka, ia menegur raja-raja, dengan berfirman, ’Jangan menjamah orang-orang yang kuurapi, dan kepada nabi-nabiku jangan melakukan yang jahat.’” (Mz 105:7-15; bdk. Kej 12:10-20; 20:1-18; 31:22-24, 36-55.) Hal ini pun merupakan bukti bahwa Allah masih berdaulat atas bumi, dan Ia melaksanakan hal itu selaras dengan perkembangan maksud-tujuan-Nya.
Para patriark yang setia tidak mengikatkan diri kepada negara-kota atau kerajaan mana pun di Kanaan atau negeri-negeri lain. Sebaliknya dari mencari keamanan di suatu kota di bawah pemerintahan politik raja manusia, mereka tinggal di kemah-kemah sebagai ”orang-orang asing dan penduduk sementara di negeri itu”, dan dengan iman ”menantikan kota yang mempunyai fondasi yang tetap, kota yang dibangun dan dibuat oleh Allah”. Mereka menerima Allah sebagai Penguasa mereka, menantikan penyelenggaraan, atau sarana, surgawi-Nya di masa depan untuk memerintah bumi, yang secara kokoh didasarkan pada wewenang dan kehendak-Nya yang absolut, sekalipun pada waktu itu perwujudan harapan ini masih ’jauh’. (Ibr 11:8-10, 13-16) Itulah sebabnya Yesus, yang sudah diurapi Allah untuk menjadi raja, belakangan dapat mengatakan, ”Abraham . . . sangat bersukacita dengan prospek akan melihat hariku, dan ia melihatnya dan bersukacita.”—Yoh 8:56.
Dalam perkembangan janji-Nya tentang ’benih’ (Kej 3:15) Kerajaan ini, Yehuwa maju selangkah lagi dengan menetapkan suatu perjanjian dengan Abraham. (Kej 12:1-3; 22:15-18) Berkaitan dengan hal itu, Ia menubuatkan bahwa ”raja-raja akan muncul” dari Abraham (Abram) dan istrinya. (Kej 17:1-6, 15, 16) Walaupun keturunan Esau, cucu Abraham, membentuk pemerintahan di bawah para syekh dan para raja, janji Allah yang bersifat nubuat mengenai dinasti raja diulangi kepada Yakub, cucu Abraham yang lain.—Kej 35:11, 12; 36:9, 15-43.
Pembentukan bangsa Israel. Berabad-abad kemudian, pada waktu yang ditetapkan (Kej 15:13-16), Allah Yehuwa bertindak demi kepentingan keturunan Yakub, yang saat itu telah berjumlah jutaan orang (lihat EKSODUS [Jumlah Orang yang Ikut dalam Eksodus]), dengan melindungi mereka selama suatu kampanye genosida oleh pemerintah Mesir (Kel 1:15-22) dan akhirnya membebaskan mereka dari perbudakan yang kejam di bawah rezim Mesir. (Kel 2:23-25) Perintah Allah kepada Firaun, yang disampaikan melalui para wakil-Nya, Musa dan Harun, ditolak dengan hina oleh penguasa Mesir karena dianggap berasal dari sumber yang tidak mempunyai wewenang atas segala urusan Mesir. Karena Firaun berulang kali tidak mau mengakui kedaulatan-Nya, Yehuwa mempertunjukkan kuasa-Nya dalam bentuk tulah-tulah. (Kel 7 sampai 12) Dengan demikian, Allah membuktikan bahwa kekuasaan-Nya atas semua elemen dan makhluk di bumi mengungguli kekuasaan raja mana pun di seluruh bumi. (Kel 9:13-16) Pertunjukan kuasa-Nya yang tertinggi mencapai klimaksnya ketika Ia menghancurkan pasukan Firaun dengan cara yang tidak pernah dapat ditiru oleh para raja-pejuang yang sombong mana pun dari bangsa-bangsa. (Kel 14:26-31) Dengan alasan yang kuat, Musa dan orang Israel bernyanyi, ”Yehuwa akan memerintah sebagai raja sampai waktu yang tidak tertentu, bahkan selama-lamanya.”—Kel 15:1-19.
Setelah itu, Yehuwa memberikan bukti lain lagi tentang kekuasaan-Nya atas bumi, sumber airnya yang vital, serta kehidupan burung-burung, dan Ia memperlihatkan kesanggupan-Nya untuk menjaga dan memelihara bangsa-Nya bahkan di lingkungan yang kering dan tidak bersahabat. (Kel 15:22–17:15) Setelah melaksanakan semuanya itu, Ia berbicara kepada bangsa yang baru dibebaskan ini, dengan memberi tahu mereka bahwa, apabila mereka menaati wewenang dan perjanjian-Nya, mereka dapat menjadi milik-Nya yang istimewa di antara semua bangsa lain, ”karena seluruh bumi adalah milikku”. Mereka dapat menjadi ”suatu kerajaan imam dan suatu bangsa yang kudus”. (Kel 19:3-6) Ketika mereka menyatakan di hadapan umum bahwa mereka rela tunduk kepada kedaulatan-Nya, Yehuwa bertindak sebagai Legislator-Raja dengan memberi mereka ketetapan-ketetapan kerajaan berupa seperangkat hukum yang ekstensif, disertai bukti yang dinamis dan membangkitkan rasa takjub tentang kuasa serta kemuliaan-Nya. (Kel 19:7–24:18) Sebuah tabernakel atau kemah pertemuan, dan khususnya tabut perjanjian, menjadi petunjuk kehadiran Kepala Negara surgawi yang tidak kelihatan ini. (Kel 25:8, 21, 22; 33:7-11; bdk. Pny 21:3.) Walaupun Musa dan pria-pria terlantik lainnya menghakimi sebagian besar kasus, dengan bimbingan hukum Allah, Yehuwa adakalanya secara langsung turun tangan untuk menyatakan penghakiman dan menjatuhkan sanksi terhadap para pelanggar hukum. (Kel 18:13-16, 24-26; 32:25-35) Imam-imam yang terlantik memelihara hubungan baik antara bangsa itu dan Penguasa surgawinya, menolong bangsa ini dalam upaya mereka untuk menyelaraskan diri dengan standar-standar yang tinggi dari perjanjian Hukum. (Lihat IMAM.) Jadi, pemerintahan atas Israel adalah teokrasi sejati.—Ul 33:2, 5.
Sebagai Allah dan Pencipta, yang memiliki hak ”eminent domain” (yaitu pengambilan tanah atau milik pribadi untuk kepentingan umum) atas seluruh bumi, dan juga sebagai ”Hakim segenap bumi” (Kej 18:25), Yehuwa telah menetapkan tanah Kanaan bagi benih Abraham. (Kej 12:5-7; 15:17-21) Sebagai Eksekutif Utama, Ia kini memerintahkan orang Israel untuk secara paksa mengambil alih daerah yang dikuasai orang Kanaan yang terkutuk, dan juga untuk melaksanakan hukuman mati yang Ia jatuhkan atas mereka.—Ul 9:1-5; lihat KANAAN No. 2 (Penaklukan Kanaan oleh Israel).
Zaman Hakim-Hakim. Selama tiga setengah abad setelah Israel menaklukkan banyak kerajaan di Kanaan, Allah Yehuwa adalah satu-satunya raja bagi bangsa itu. Selama periode yang berbeda-beda, para Hakim, yang dipilih Allah, memimpin bangsa itu atau sebagian darinya dalam pertempuran dan pada masa damai. Setelah Hakim Gideon mengalahkan Midian, rakyat pada umumnya memohon agar ia menjadi penguasa atas mereka, tetapi ia menolak karena mengakui bahwa Yehuwa-lah penguasa yang sebenarnya. (Hak 8:22, 23) Abimelekh, putranya yang ambisius, untuk waktu yang singkat menjadi raja atas sebagian kecil bangsa itu, tetapi kerajaannya berakhir dalam bencana yang menimpa dirinya.—Hak 9:1, 6, 22, 53-56.
Mengenai zaman Hakim-Hakim secara umum, dapat dikatakan, ”Pada zaman itu tidak ada raja di Israel. Setiap orang biasa melakukan apa yang benar di matanya sendiri.” (Hak 17:6; 21:25) Hal itu tidak menyiratkan tidak adanya pembatasan secara hukum. Setiap kota memiliki hakim-hakim, para tua-tua, untuk menangani pertanyaan dan masalah hukum serta menjalankan keadilan. (Ul 16:18-20; lihat PENGADILAN.) Keimaman Lewi berfungsi sebagai badan pembimbing tinggi yang mendidik dan membimbing bangsa itu menurut hukum Allah, karena imam besar menggunakan Urim dan Tumim untuk meminta nasihat kepada Allah dalam masalah-masalah yang sukar. (Lihat IMAM; IMAM BESAR; URIM DAN TUMIM.) Jadi, orang yang memanfaatkan persediaan-persediaan ini, yang mendapatkan pengetahuan tentang hukum Allah dan menerapkannya, memperoleh bimbingan yang sehat bagi hati nuraninya. Tindakannya melakukan ”apa yang benar di matanya sendiri” dalam hal ini tidak akan berakibat buruk. Yehuwa mengizinkan bangsa itu untuk memperlihatkan sikap dan haluan kerelaan atau ketidakrelaan. Tidak ada raja manusia atas bangsa itu yang mengawasi pekerjaan para hakim kota atau memerintahkan warganya untuk mengerjakan proyek-proyek khusus atau mengerahkan mereka untuk pertahanan bangsa. (Bdk. Hak 5:1-18.) Karena itu, kondisi-kondisi buruk yang timbul disebabkan mayoritas orang tidak mau mengindahkan firman dan hukum Raja surgawi mereka dan tidak memanfaatkan semua persediaan-Nya.—Hak 2:11-23.
Permintaan akan Seorang Raja Manusia. Hampir 400 tahun sejak Eksodus dan lebih dari 800 tahun sejak Allah membuat perjanjian dengan Abraham, orang Israel meminta seorang raja manusia untuk memimpin mereka, sama seperti bangsa-bangsa lain. Dengan permintaan itu, mereka menolak Yehuwa sebagai raja atas mereka. (1Sam 8:4-8) Memang, bangsa itu pantas mengharapkan agar Allah mendirikan sebuah kerajaan selaras dengan janji-Nya kepada Abraham dan Yakub, sebagaimana dikutip sebelumnya. Harapan mereka juga didasarkan pada nubuat yang diucapkan Yakub sebelum meninggal mengenai Yehuda (Kej 49:8-10), pada firman Yehuwa kepada Israel setelah Eksodus (Kel 19:3-6), pada syarat-syarat perjanjian Hukum (Ul 17:14, 15), dan bahkan pada sebagian dari pesan yang disampaikan nabi Bileam atas perintah Allah (Bil 24:2-7, 17). Hana, wanita setia yang adalah ibu Samuel, mengungkapkan harapan ini dalam doanya. (1Sam 2:7-10) Meskipun demikian, Yehuwa belum sepenuhnya menyingkapkan ”rahasia suci”-Nya tentang Kerajaan dan belum menyatakan tibanya waktu yang Ia tetapkan untuk mendirikan kerajaan tersebut, dan juga bagaimana struktur dan susunan pemerintahan itu kelak—apakah di bumi atau di surga. Oleh karenanya, bangsa ini telah bertindak lancang dengan menuntut seorang raja manusia pada saat itu.
Tampaknya, ancaman agresi orang Filistin dan Ammon turut menyebabkan orang Israel menginginkan seorang raja yang kelihatan sebagai komandan utama. Jadi, mereka kurang beriman akan kesanggupan Allah untuk melindungi, membimbing, dan memenuhi kebutuhan mereka, sebagai bangsa ataupun secara perorangan. (1Sam 8:4-8) Motif bangsa ini salah; tetapi Allah Yehuwa mengabulkan permintaan mereka, terutama bukan demi kepentingan mereka melainkan demi memenuhi maksud-tujuan-Nya sendiri yang baik untuk secara progresif menyingkapkan ”rahasia suci” Kerajaan-Nya yang akan datang melalui sang ’benih’. Namun, seorang raja manusia akan mendatangkan problemnya sendiri serta menuntut pengorbanan di pihak Israel, dan Yehuwa memaparkan fakta-fakta tersebut di hadapan bangsa ini.—1Sam 8:9-22.
Raja-raja yang dilantik Yehuwa setelah itu harus melayani sebagai wakil-wakil Allah di bumi, tanpa sedikit pun mengurangi kedaulatan Yehuwa atas bangsa ini. Sebenarnya, takhta Yehuwa-lah yang mereka duduki, dan mereka adalah wakil raja. (1Taw 29:23) Yehuwa memerintahkan pengurapan raja yang pertama, Saul (1Sam 9:15-17), dan pada waktu yang sama menyingkapkan kurangnya iman bangsa ini.—1Sam 10:17-25.
Baik raja maupun rakyatnya kini harus merespek wewenang Allah agar pemerintahan tersebut mendatangkan manfaat. Jika mereka secara tidak realistis berpaling kepada sumber-sumber lain untuk mendapatkan bimbingan dan perlindungan, mereka dan raja mereka akan dilenyapkan. (Ul 28:36; 1Sam 12:13-15, 20-25) Raja tidak boleh mengandalkan kekuatan militer, mempunyai banyak istri, dan dikuasai oleh nafsu akan kekayaan. Pemerintahannya harus sepenuhnya dijalankan dalam kerangka perjanjian Hukum. Ia diperintahkan oleh Allah untuk membuat salinan Hukum bagi dirinya dan membacanya setiap hari, agar ia senantiasa memiliki rasa takut yang sepatutnya kepada Wewenang Tertinggi, tetap rendah hati, dan mempertahankan haluan yang adil-benar. (Ul 17:16-20) Apabila ia menjalankan itu semua, mengasihi Allah dengan segenap hati dan mengasihi sesamanya seperti dirinya sendiri, pemerintahannya akan mendatangkan banyak berkat, tanpa ada alasan yang nyata untuk mengeluh akibat penindasan ataupun penderitaan. Namun, seperti halnya terhadap rakyatnya, demikian pula terhadap raja-raja mereka, Yehuwa membiarkan para penguasa ini mempertunjukkan isi hati mereka, apakah mereka rela atau tidak rela mengakui wewenang dan kehendak Allah.
Pemerintahan Daud yang Patut Diteladani. Karena Saul, orang Benyamin itu, menghina wewenang yang lebih tinggi dan penyelenggaraan Pribadi ”Yang Mulia dari Israel”, ia kehilangan perkenan Allah dan sebagai akibatnya, keturunannya tidak lagi menduduki takhta. (1Sam 13:10-14; 15:17-29; 1Taw 10:13, 14) Dengan memerintahnya pengganti Saul, Daud dari Yehuda, nubuat yang diucapkan Yakub sebelum meninggal mengalami penggenapan lebih jauh. (Kej 49:8-10) Meskipun Daud melakukan kesalahan-kesalahan akibat ketidaksempurnaan manusia, pemerintahannya patut diteladani karena ia dengan sepenuh hati mengabdi kepada Allah Yehuwa dan dengan rendah hati tunduk kepada wewenang ilahi. (Mz 51:1-4; 1Sam 24:10-14; bdk. 1Raj 11:4; 15:11, 14.) Pada waktu menerima sumbangan bagi pembangunan bait, Daud berdoa kepada Allah di hadapan rakyat yang berkumpul, demikian, ”Milikmulah, oh, Yehuwa, kebesaran, keperkasaan, keindahan, keunggulan, dan kehormatan; sebab segala sesuatu di surga dan di bumi adalah milikmu. Milikmulah kerajaan, oh, Yehuwa, Pribadi yang juga meninggikan dirimu sebagai kepala atas semua. Kekayaan dan kemuliaan berasal dari engkau, dan engkau menguasai segala sesuatu; di tanganmulah kuasa dan keperkasaan, dan di tanganmulah kesanggupan untuk membuat besar dan untuk memberikan kekuatan bagi semua. Maka sekarang, oh, Allah kami, kami bersyukur kepadamu dan memuji namamu yang indah.” (1Taw 29:10-13) Nasihat terakhirnya kepada Salomo, putranya, juga menggambarkan sudut pandangan Daud yang benar tentang hubungan antara kekuasaan sebagai raja di bumi dan Sumber ilahi kekuasaan tersebut.—1Raj 2:1-4.
Pada waktu tabut perjanjian, yang ada kaitannya dengan kehadiran Yehuwa, dibawa ke ibu kota, Yerusalem, Daud bernyanyi, ”Biarlah langit bersukacita, dan biarlah bumi bergembira, dan biarlah mereka mengatakan di antara bangsa-bangsa, ’Yehuwa telah menjadi raja!’” (1Taw 16:1, 7, 23-31) Hal itu memperlihatkan fakta bahwa, sekalipun pemerintahan Yehuwa telah berlangsung sejak awal penciptaan, Ia dapat secara spesifik menetapkan perwujudan pemerintahan-Nya atau menetapkan sarana tertentu untuk mewakili diri-Nya sehingga Ia dapat disebut ”menjadi raja” pada suatu masa atau kesempatan tertentu.
Perjanjian untuk suatu kerajaan. Yehuwa membuat perjanjian dengan Daud untuk suatu kerajaan yang akan kokoh selama-lamanya dalam garis keturunan keluarganya, dengan mengatakan, ”Aku pasti akan membangkitkan benihmu setelah engkau, . . . dan aku akan menetapkan kerajaannya dengan kokoh. . . . Keturunanmu dan kerajaanmu pasti akan kokoh sampai waktu yang tidak tertentu di hadapanmu; takhtamu pun akan menjadi takhta yang ditetapkan dengan kokoh sampai waktu yang tidak tertentu.” (2Sam 7:12-16; 1Taw 17:11-14) Perjanjian ini, yang berlaku atas dinasti Daud, memberikan bukti lebih jauh tentang pelaksanaan janji Allah di Eden berkenaan dengan Kerajaan-Nya melalui ’benih’ (Kej 3:15) yang dinubuatkan dan merupakan sarana tambahan untuk mengidentifikasi ’benih’ itu apabila ia datang kelak. (Bdk. Yes 9:6, 7; 1Ptr 1:11.) Raja-raja yang ditetapkan Allah diurapi untuk jabatan mereka, karena itu, kata ”mesias”, yang berarti ”orang yang diurapi”, berlaku atas mereka. (1Sam 16:1; Mz 132:13, 17) Jadi, jelaslah bahwa kerajaan Yehuwa di bumi yang didirikan atas Israel menjadi gambaran kecil-kecilan untuk Kerajaan yang akan datang melalui sang Mesias, Yesus Kristus, ”putra Daud”.—Mat 1:1.
Kemerosotan dan Kejatuhan Kerajaan-Kerajaan Israel. Karena tidak berpaut kepada jalan-jalan Yehuwa yang adil-benar, kondisi pada akhir tiga pemerintahan saja dan pada awal pemerintahan yang keempat menjadi begitu tidak memuaskan sehingga memicu pemberontakan dan perpecahan dalam bangsa Israel (997 SM). Hasilnya ialah kerajaan utara dan kerajaan selatan. Namun demikian, perjanjian Yehuwa dengan Daud tetap berlaku atas raja-raja kerajaan Yehuda di selatan. Selama berabad-abad, raja yang setia langka di Yehuda, dan sama sekali tidak ada di kerajaan Israel di utara. Sejarah kerajaan utara diwarnai dengan penyembahan berhala, intrik, pembunuhan, dan raja-raja yang sering kali berganti secara cepat. Rakyat menderita ketidakadilan dan penindasan. Kira-kira 250 tahun sejak berdirinya kerajaan utara, Yehuwa mengizinkan raja Asiria meremukkan kerajaan itu (740 SM) karena pemberontakannya melawan Allah.—Hos 4:1, 2; Am 2:6-8.
Meskipun kerajaan Yehuda lebih stabil karena diperintah oleh dinasti Daud, pada akhirnya kerajaan selatan menjadi lebih bejat moralnya daripada kerajaan utara, kendati raja-raja yang takut akan Allah, seperti Hizkia dan Yosia, mengerahkan upaya agar bangsa itu tidak semakin terpuruk ke dalam penyembahan berhala dan penolakan firman serta wewenang Yehuwa. (Yes 1:1-4; Yeh 23:1-4, 11) Ketidakadilan sosial, kelaliman, ketamakan, ketidakjujuran, suap, penyimpangan seks, serangan kriminal, dan pertumpahan darah, serta kemunafikan agama yang mengubah bait Allah menjadi ”gua perampok”—semuanya dicela oleh nabi-nabi Yehuwa melalui pesan-pesan peringatan yang mereka sampaikan kepada para penguasa dan bangsa ini. (Yes 1:15-17, 21-23; 3:14, 15; Yer 5:1, 2, 7, 8, 26-28, 31; 6:6, 7; 7:8-11) Dukungan imam-imam yang murtad maupun aliansi politik dengan bangsa-bangsa lain tidak dapat mencegah kehancuran yang akan menimpa kerajaan yang tidak setia ini. (Yer 6:13-15; 37:7-10) Ibu kotanya, Yerusalem, dimusnahkan dan Yehuda ditelantarkan oleh orang Babilonia pada tahun 607 SM.—2Raj 25:1-26.
Kedudukan Yehuwa sebagai raja tetap tidak ternoda. Kebinasaan kerajaan Israel dan kerajaan Yehuda sama sekali tidak mencerminkan mutu pemerintahan Allah Yehuwa dan sama sekali tidak menunjukkan adanya kelemahan di pihak-Nya. Sepanjang sejarah bangsa Israel, Yehuwa nyata-nyata berminat akan pelayanan dan ketaatan yang diberikan dengan kerelaan. (Ul 10:12-21; 30:6, 15-20; Yes 1:18-20; Yeh 18:25-32) Ia mengajar, menegur, mendisiplin, memperingatkan, dan menghukum. Tetapi Ia tidak menggunakan kuasa-Nya untuk memaksa raja ataupun rakyat agar mengikuti haluan yang adil-benar. Kondisi buruk yang berkembang, penderitaan yang mereka alami, malapetaka yang menimpa mereka, semuanya adalah akibat ulah mereka sendiri, karena mereka terus mengeraskan hati dan berkukuh mengikuti haluan independen yang dengan bodoh mereka tempuh sehingga merugikan kepentingan mereka sendiri.—Rat 1:8, 9; Neh 9:26-31, 34-37; Yes 1:2-7; Yer 8:5-9; Hos 7:10, 11.
Yehuwa mempertunjukkan kuasa-Nya yang Tertinggi dengan menahan Asiria dan Babilon yang agresif dan rakus sampai waktu yang Ia tetapkan, bahkan memanuver mereka sehingga tindakan mereka menggenapi nubuat-nubuat-Nya. (Yeh 21:18-23; Yes 10:5-7) Ketika Yehuwa pada akhirnya menarik perlindungan-Nya dari bangsa Israel, hal itu adalah pernyataan penghakiman-Nya yang adil-benar sebagai Penguasa Tertinggi. (Yer 35:17) Kehancuran Israel dan Yehuda tidak mengejutkan hamba-hamba Allah yang taat, yang sebelumnya sudah diperingatkan melalui nubuat-nubuat-Nya. ’Semarak keunggulan Yehuwa’ ditinggikan dengan direndahkannya para penguasa yang angkuh itu. (Yes 2:1, 10-17) Akan tetapi, yang lebih penting daripada semuanya itu, sebagai Raja mereka, Ia telah mempertunjukkan kesanggupan-Nya untuk melindungi dan memelihara individu-individu yang berpaling kepada-Nya, sekalipun mereka mengalami kelaparan, ditimpa penyakit, dan diancam pembantaian besar-besaran, serta ketika mereka dianiaya oleh orang-orang yang membenci keadilbenaran.—Yer 34:17-21; 20:10, 11; 35:18, 19; 36:26; 37:18-21; 38:7-13; 39:11–40:5.
Raja terakhir Israel diperingatkan bahwa mahkotanya, yang melambangkan kekuasaan sebagai raja yang diurapi untuk menjadi wakil kerajaan Yehuwa, akan disingkirkan. Lalu kerajaan dinasti Daud yang terurap tidak akan memerintah lagi ”sampai kedatangan dia yang memiliki hak yang sah, dan aku [Yehuwa] akan memberikannya kepada dia”. (Yeh 21:25-27) Jadi, kerajaan simbolis, yang pada saat itu telah menjadi puing-puing, tidak lagi berfungsi, dan perhatian sekali lagi diarahkan ke masa depan, kepada ’benih’ yang akan datang, sang Mesias.
Bangsa-bangsa politis, seperti Asiria dan Babilon, menghancurkan kerajaan Israel dan kerajaan Yehuda yang murtad. Meskipun Allah menyatakan bahwa Dialah yang ”membangkitkan” atau ”mendatangkan” bangsa-bangsa tersebut untuk melawan kerajaan-kerajaan yang terkutuk itu (Ul 28:49; Yer 5:15; 25:8, 9; Yeh 7:24; Am 6:14), tampaknya makna hal itu sama dengan ketika Allah ’mengeraskan’ hati Firaun. (Lihat TAHU SEBELUMNYA; TETAPKAN SEBELUMNYA [Mengenai Individu-Individu].) Artinya, Allah ”mendatangkan” pasukan-pasukan penyerang dengan membiarkan mereka melaksanakan keinginan yang sudah ada dalam hati mereka (Yes 10:7; Rat 2:16; Mi 4:11), dan menyingkirkan ”tangan” perlindungan-Nya dari sasaran ketamakan mereka yang ambisius. (Ul 31:17, 18; bdk. Ezr 8:31 dengan Ezr 5:12; Neh 9:28-31; Yer 34:2.) Karena dengan keras kepala menolak untuk tunduk kepada hukum dan kehendak Yehuwa, orang-orang Israel yang murtad pun diberi ’kebebasan kepada pedang, sampar, dan bala kelaparan’. (Yer 34:17) Namun, bangsa-bangsa kafir yang melancarkan serangan tersebut tidak dengan sendirinya diperkenan Allah, dan mereka juga tidak memiliki ’tangan yang tahir’ di hadapan-Nya sewaktu mereka dengan kejam membinasakan kerajaan utara dan kerajaan selatan, ibu kota Yerusalem beserta bait sucinya. Maka Yehuwa, Hakim atas seluruh bumi, berhak mengecam mereka karena mereka telah ’menjarah milik pusaka-Nya’ dan dapat menghukum mereka sehingga mengalami kehancuran yang sama yang telah mereka timpakan ke atas umat perjanjian-Nya.—Yes 10:12-14; 13:1, 17-22; 14:4-6, 12-14, 26, 27; 47:5-11; Yer 50:11, 14, 17-19, 23-29.
Penglihatan tentang Kerajaan Allah pada Zaman Daniel. Nubuat dalam buku Daniel secara keseluruhan dengan tandas menekankan Kedaulatan Universal Allah, sehingga semakin memperjelas maksud-tujuan Yehuwa. Karena tinggal dalam pembuangan di ibu kota kuasa dunia yang menggulingkan Yehuda, Daniel digunakan oleh Allah untuk menyingkapkan makna sebuah penglihatan yang diperoleh raja Babilonia, yaitu yang menubuatkan barisan kuasa-kuasa dunia yang akhirnya akan dihancurkan oleh Kerajaan abadi yang Yehuwa dirikan. Di hadapan semua orang di istananya, yang pasti terheran-heran, Nebukhadnezar, sang penakluk Yerusalem, pada saat itu tergerak untuk sujud dan memberikan penghormatan kepada Daniel, orang buangan ini, dan untuk mengakui Allah yang disembah Daniel sebagai ”Tuan atas segala raja”. (Dan 2:36-47) Sekali lagi, melalui penglihatan yang diperoleh Nebukhadnezar dalam mimpinya mengenai ’pohon yang ditebang’, Yehuwa secara tegas menyatakan bahwa ”Yang Mahatinggi adalah Penguasa atas kerajaan manusia dan bahwa ia memberikannya kepada orang yang ia kehendaki, dan ia mengangkat kepada kedudukan itu bahkan orang yang paling rendah dari antara umat manusia”. (Dan 4; lihat pembahasan tentang penglihatan tersebut di bawah judul WAKTU YANG DITETAPKAN BAGI BANGSA-BANGSA.) Dengan tergenapnya mimpi itu, yang berkaitan dengan dirinya, Raja Nebukhadnezar sekali lagi harus mengakui Allah yang disembah Daniel sebagai ”Raja yang berkuasa atas surga”, Pribadi yang ”berbuat menurut kehendaknya sendiri di antara bala tentara langit dan penduduk bumi. Dan tidak ada seorang pun yang dapat menahan tangannya atau dapat mengatakan kepadanya, ’Apa yang kaulakukan?’”—Dan 4:34-37.
Menjelang akhir dominasi internasional Babilon, Daniel mendapat penglihatan nubuat tentang imperium-imperium yang silih berganti dan yang karakteristiknya seperti binatang; ia juga melihat Majelis Pengadilan surgawi Yehuwa yang agung bersidang, menjatuhkan hukuman ke atas kuasa-kuasa dunia, menyatakan bahwa mereka tidak berhak memerintah; dan ia menyaksikan ”seseorang seperti putra manusia . . . dan kepadanya diserahkan kekuasaan dan kehormatan dan kerajaan, agar semua orang dari berbagai bangsa, kelompok bangsa dan bahasa melayani dia” selama ia memegang ”kekuasaan yang bertahan untuk waktu yang tidak tertentu, yang tidak akan berlalu”. Ia pun menyaksikan perang yang dilancarkan terhadap ”orang-orang kudus” oleh kuasa dunia terakhir sehingga kuasa ini sendiri harus dibinasakan, dan penyerahan ”kerajaan, kekuasaan, dan keagungan kerajaan-kerajaan di bawah seluruh langit . . . kepada orang-orang kudus, umat Pribadi Yang Mahatinggi”, Allah Yehuwa. (Dan 7, 8) Jadi, jelaslah bahwa ’benih’ yang dijanjikan itu berkaitan dengan suatu badan pemerintahan yang tidak hanya dikepalai oleh seorang raja, ”putra manusia”, tetapi juga oleh para penguasa sekunder, yakni ”orang-orang kudus, umat Pribadi Yang Mahatinggi”.
Atas Babilon dan Media-Persia. Ketetapan Allah yang tak dapat diubah terhadap Babilon yang perkasa terlaksana secara mendadak dan tidak terduga; hari-harinya telah dihitung dan sudah berakhir. (Dan 5:17-30) Pada masa pemerintahan berikutnya, yaitu Media-Persia, Yehuwa menyingkapkan lebih lanjut hal-hal berkenaan dengan Kerajaan Mesianik, yaitu saat munculnya Mesias, nubuat bahwa ia akan ”dilenyapkan”, dan juga bahwa kota Yerusalem beserta tempat kudusnya akan dibinasakan untuk kedua kalinya. (Dan 9:1, 24-27; lihat TUJUH PULUH MINGGU.) Lalu, seperti yang telah Ia lakukan pada masa pemerintahan Babilonia, Allah Yehuwa sekali lagi memperlihatkan kesanggupan-Nya untuk melindungi orang-orang yang mengakui kedaulatan-Nya meskipun mereka menghadapi kemarahan para pejabat dan ancaman kematian, dengan mempertunjukkan kuasa-Nya atas unsur-unsur di bumi serta binatang buas. (Dan 3:13-29; 6:12-27) Ia menyebabkan pintu-pintu gerbang Babilon terbuka lebar sesuai dengan jadwal sehingga umat perjanjian-Nya dapat memperoleh kebebasan untuk kembali ke tanah air mereka dan membangun kembali rumah Yehuwa di sana. (2Taw 36:20-23) Karena Allah membebaskan umat-Nya, pengumuman dapat disampaikan kepada Zion, ”Allahmu telah menjadi raja!” (Yes 52:7-11) Setelah itu, persekongkolan melawan umat-Nya digagalkan dan masalah penyalahgambaran oleh para pejabat bawahan serta ketetapan-ketetapan pemerintah yang merugikan diatasi karena Yehuwa menggerakkan raja-raja Persia yang berlainan untuk bekerja sama dalam pelaksanaan kehendak-Nya yang absolut.—Ezr 4-7; Neh 2, 4, 6; Est 3-9.
Dengan demikian, selama ribuan tahun maksud-tujuan Allah Yehuwa yang tidak berubah dan tidak dapat ditentang terus bergerak maju. Tidak soal perubahan peristiwa-peristiwa di bumi, Ia terbukti selalu dapat mengendalikan situasinya, selalu mengungguli manusia yang menentang dan iblis. Apa pun tidak diizinkan untuk mengganggu pelaksanaan maksud-tujuan dan kehendak-Nya secara sempurna. Bangsa Israel dan riwayatnya, selain menjadi gambaran dan bayangan nubuat tentang cara Allah berurusan dengan manusia di masa depan, juga memberikan gambaran bahwa tanpa pengakuan dan ketundukan yang sepenuh hati kepada kekepalaan ilahi tidak akan ada keharmonisan, kedamaian, dan kebahagiaan yang langgeng. Orang Israel mendapatkan manfaat karena memiliki nenek moyang, bahasa, dan negeri yang sama. Mereka juga menghadapi musuh-musuh yang sama. Tetapi hanya selama mereka dengan loyal dan setia menyembah dan melayani Allah Yehuwa, mereka dapat memiliki persatuan, kekuatan, keadilan, dan kenikmatan hidup yang sejati. Apabila ikatan dengan Allah Yehuwa melemah, kondisi bangsa itu memburuk dengan cepat.
Kerajaan Allah ”Sudah Dekat”. Karena Mesias harus keturunan Abraham, Ishak, dan Yakub, harus salah satu anggota suku Yehuda, dan juga ”putra Daud”, ia harus lahir sebagai manusia; ia harus seorang ”putra manusia” sebagaimana dinyatakan dalam nubuat Daniel. Ketika ”kesudahan jangka waktu itu” tiba, Allah Yehuwa mengutus Putra-Nya, yang lahir dari seorang wanita dan yang memenuhi semua tuntutan hukum untuk mewarisi ”takhta Daud, bapaknya”. (Gal 4:4; Luk 1:26-33; lihat SILSILAH YESUS KRISTUS.) Enam bulan sebelum kelahiran Yesus, lahirlah Yohanes, yang menjadi sang Pembaptis dan yang akan menjadi pembuka jalan bagi Yesus. (Luk 1:13-17, 36) Pernyataan yang diucapkan oleh orang tua kedua putra ini memperlihatkan bahwa mereka telah lama menantikan dengan penuh harap tindakan Allah sehubungan dengan pemerintahan-Nya. (Luk 1:41-55, 68-79) Pada waktu Yesus lahir, kata-kata kelompok malaikat yang diutus sebagai wakil Yehuwa untuk mengumumkan arti peristiwa ini juga menunjuk kepada tindakan Allah yang mulia. (Luk 2:9-14) Demikian pula, kata-kata Simeon dan Hana di bait mengungkapkan harapan akan tindakan penyelamatan dan pembebasan. (Luk 2:25-38) Menurut catatan Alkitab maupun bukti sekuler, orang Yahudi pada umumnya telah mengantisipasi bahwa kedatangan sang Mesias sudah dekat. Namun, banyak orang terutama berminat untuk memperoleh kemerdekaan dari kuk yang berat berupa dominasi orang Romawi.—Lihat MESIAS.
Tugas Yohanes ialah ’membuat hati orang-orang berbalik’ kepada Yehuwa, kepada perjanjian-perjanjian-Nya dan ”hak istimewa untuk memberikan dinas suci kepada dia tanpa perasaan takut disertai loyalitas dan keadilbenaran”, dengan demikian mempersiapkan bagi Yehuwa ”suatu umat yang siap”. (Luk 1:16, 17, 72-75) Ia memberi tahu bangsa itu secara gamblang bahwa mereka akan menghadapi masa penghakiman oleh Allah dan bahwa ”kerajaan surga sudah dekat”, yang berarti mereka perlu segera bertobat dan berpaling dari haluan ketidaktaatan kepada kehendak dan hukum Allah. Hal ini sekali lagi menandaskan standar Yehuwa bahwa Ia hanya menginginkan orang-orang yang tunduk secara sukarela, yang mengakui dan juga menghargai kebenaran jalan-jalan serta hukum-hukum-Nya.—Mat 3:1, 2, 7-12.
Sang Mesias datang ketika Yesus menghadap Yohanes untuk dibaptis dan kemudian diurapi dengan roh kudus Allah. (Mat 3:13-17) Dengan demikian, ia menjadi Calon-Raja, Pribadi yang oleh Majelis Pengadilan Yehuwa diakui memiliki hak yang sah atas takhta Daud, hak yang tidak digunakan selama enam abad sebelumnya. (Lihat YESUS KRISTUS [Baptisannya].) Tetapi Yehuwa juga mengadakan suatu perjanjian untuk Kerajaan surgawi dengan Putra yang diperkenan ini; dalam Kerajaan itu Yesus akan menjadi Raja maupun Imam, seperti Melkhizedek dari Salem zaman dahulu. (Mz 110:1-4; Luk 22:29; Ibr 5:4-6; 7:1-3; 8:1; lihat PERJANJIAN.) Sebagai ’benih Abraham’ yang dijanjikan, Raja-Imam surgawi ini akan menjadi Wakil Utama Allah untuk memberkati orang-orang dari segala bangsa.—Kej 22:15-18; Gal 3:14; Kis 3:15.
Pada awal kehidupan Putra-Nya di bumi, Yehuwa sudah memanifestasikan kuasa-Nya sebagai raja demi kepentingan Yesus. Allah menyuruh para ahli nujum dari Timur, yang akan memberi tahu Raja Herodes yang lalim di mana anak kecil itu berada, pulang melalui jalan lain dan Ia menyebabkan orang tua Yesus dengan diam-diam melarikan diri ke Mesir sebelum orang-orang Herodes melaksanakan pembantaian anak-anak kecil di Betlehem. (Mat 2:1-16) Karena nubuat awal di Eden telah memberitahukan mengenai permusuhan antara ’benih’ yang dijanjikan dan ’benih ular’, upaya pembunuhan Yesus tersebut pasti menunjukkan bahwa Musuh Allah, Setan si Iblis, mencoba, meskipun sia-sia, menggagalkan maksud-tujuan Yehuwa.—Kej 3:15.
Sesudah berada di Padang Belantara Yudea selama kira-kira 40 hari, Yesus yang baru dibaptis dikonfrontasi oleh pribadi ini, yang menjadi penentang utama kedaulatan Yehuwa. Melalui cara tertentu, Musuh yang adalah makhluk roh ini menyampaikan kepada Yesus saran-saran licik yang dirancang untuk memancing Yesus agar melakukan hal-hal yang melanggar kehendak dan firman Yehuwa yang sudah dinyatakan. Setan bahkan menawarkan kepada Yesus yang sudah diurapi ini kekuasaan atas semua kerajaan di bumi, tanpa perlu berperang dan menderita—sebagai penukar satu tindakan penyembahan kepada diri Setan. Ketika Yesus menolak, karena mengakui bahwa Yehuwa adalah satu-satunya Pribadi Berdaulat yang sejati, sumber wewenang yang sah dan Pribadi yang harus disembah, Musuh Allah mulai menyusun siasat perang lain untuk melawan Wakil Yehuwa, memperalat manusia dengan berbagai cara, sebagaimana yang telah ia lakukan jauh sebelumnya dalam kasus Ayub.—Ayb 1:8-18; Mat 4:1-11; Luk 4:1-13; bdk. Pny 13:1, 2.
Bagaimana Kerajaan Allah ”ada di tengah-tengah” orang-orang yang Yesus kabari?
Dengan menaruh keyakinan akan kuasa Yehuwa untuk melindungi dan memberinya sukses, Yesus memulai pelayanannya kepada masyarakat, mengumumkan kepada umat perjanjian Yehuwa bahwa ”waktu yang ditetapkan telah digenapi”, yang berarti Kerajaan Allah sudah dekat. (Mrk 1:14, 15) Untuk menentukan dalam arti apa ”kerajaan Allah sudah dekat”, kita dapat memperhatikan kata-kata Yesus kepada beberapa orang Farisi, yaitu bahwa ”kerajaan Allah ada di tengah-tengah kamu”. (Luk 17:21) Ketika mengomentari ayat itu, The Interpreter’s Dictionary of the Bible menyatakan, ”Walaupun sering dikutip sebagai contoh ’mistisisme’ atau ’kebatinan’ Yesus, penafsiran ini sebagian besar didasarkan pada terjemahan lama, ’di dalam kamu’, [KJ, Dy] yang dimengerti dalam makna modern yang kurang cocok sebagai ”kamu” dalam bentuk tunggal; ”kamu” ([hy·mon′]) di sini adalah bentuk jamak (Yesus sedang berbicara kepada orang-orang Farisi—ay. 20) . . . Teori bahwa kerajaan Allah adalah keadaan pikiran yang lebih dalam, atau keadaan telah diselamatkan secara pribadi, bertentangan dengan konteks ayat ini, dan juga dengan penyampaian gagasan ini dalam seluruh P[erjanjian] B[aru].” (Diedit oleh G. A. Buttrick, 1962, Jil. 2, hlm. 883) Karena ”kerajaan [ba·si·lei′a]” dapat berarti ”kebesaran kerajaan”, jelaslah bahwa apa yang Yesus maksudkan adalah bahwa dia, wakil kerajaan Allah, pribadi yang diurapi Allah untuk jabatan raja tersebut, ada di tengah-tengah mereka. Ia tidak hanya hadir dalam kapasitas itu tetapi juga memiliki wewenang untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang memanifestasikan kuasa Allah sebagai raja dan untuk mempersiapkan para calon yang akan memegang kedudukan di dalam pemerintahan Kerajaannya. Itulah sebabnya Kerajaan itu dikatakan sudah ”dekat”; itulah saat terbukanya pintu kesempatan yang menakjubkan.
Pemerintahan dengan kuasa dan wewenang. Murid-murid Yesus mengerti bahwa Kerajaan ini benar-benar pemerintahan Allah, meski mereka tidak memahami jangkauan wilayah kekuasaannya. Natanael mengatakan kepada Yesus, ”Rabi, engkau adalah Putra Allah, engkau adalah Raja Israel.” (Yoh 1:49) Mereka tahu hal-hal yang dinubuatkan mengenai ”orang-orang kudus” dalam nubuat Daniel. (Dan 7:18, 27) Yesus secara langsung menjanjikan kepada pengikut-pengikutnya, para rasul, bahwa mereka akan duduk di atas ”takhta”. (Mat 19:28) Yakobus dan Yohanes mencari kedudukan istimewa dalam pemerintahan Mesianik, dan Yesus mengakui adanya kedudukan istimewa semacam itu kelak, tetapi ia menyatakan bahwa hanya Bapaknya, Penguasa Tertinggi, yang menetapkan itu semua. (Mat 20:20-23; Mrk 10:35-40) Jadi, murid-muridnya secara keliru berpikir bahwa pemerintah Mesias sebagai raja hanya akan berkuasa di bumi dan secara spesifik atas Israel jasmani, bahkan masih menganggapnya demikian pada hari Yesus yang sudah dibangkitkan naik ke surga (Kis 1:6), tetapi belakangan mereka memahami dengan benar bahwa kerajaan itu menunjuk kepada suatu tatanan pemerintahan.—Bdk. Mat 21:5; Mrk 11:7-10.
Kuasa Yehuwa sebagai raja atas ciptaan-Nya di bumi dipertunjukkan secara nyata dengan banyak cara oleh Wakil kerajaan-Nya. Melalui roh atau tenaga aktif Allah, Putra-Nya mengendalikan angin dan laut, tumbuhan, ikan, dan bahkan unsur-unsur organik dalam makanan, yang menyebabkan makanan berlipat ganda. Karena menyaksikan perbuatan-perbuatan yang penuh kuasa itu, murid-muridnya mengembangkan respek yang dalam akan wewenang yang Yesus miliki. (Mat 14:23-33; Mrk 4:36-41; 11:12-14, 20-23; Luk 5:4-11; Yoh 6:5-15) Yang bahkan lebih mengesankan lagi adalah bagaimana ia menggunakan kuasa Allah atas tubuh manusia, dengan menyembuhkan berbagai penderitaan mulai dari kebutaan sampai penyakit kusta, serta menghidupkan orang mati. (Mat 9:35; 20:30-34; Luk 5:12, 13; 7:11-17; Yoh 11:39-47) Yesus menyuruh para penderita kusta yang telah disembuhkan agar memberikan laporan kepada para imam, yang mendapat wewenang ilahi, tetapi yang umumnya tidak mau percaya, ”sebagai kesaksian kepada mereka”. (Luk 5:14; 17:14) Akhirnya, ia mempertunjukkan kuasa Allah atas roh-roh adimanusiawi. Hantu-hantu mengakui wewenang yang telah dikaruniakan kepada Yesus dan, sebaliknya dari mengambil risiko mengadu kekuatan dengan kuasa yang mendukungnya, mereka menuruti perintahnya untuk membebaskan orang-orang yang mereka rasuki. (Mat 8:28-32; 9:32, 33; bdk. Yak 2:19.) Karena hantu-hantu ini diusir dengan kuasa roh Allah, berarti Kerajaan Allah benar-benar ’telah datang ke atas’ para pendengarnya.—Mat 12:25-29; bdk. Luk 9:42, 43.
Semua itu adalah bukti yang kuat bahwa Yesus memiliki wewenang sebagai raja dan bahwa sumber wewenang ini bukanlah dari bumi, manusia, atau kekuatan politik mana pun. (Bdk. Yoh 18:36; Yes 9:6, 7.) Para utusan yang dikirim oleh Yohanes Pembaptis yang dipenjarakan, sebagai saksi perbuatan-perbuatan penuh kuasa tersebut, diperintahkan oleh Yesus untuk kembali kepada Yohanes dan memberi tahu dia apa yang telah mereka lihat dan dengar guna meneguhkan bahwa Yesus memang ”Pribadi Yang Akan Datang itu”. (Mat 11:2-6; Luk 7:18-23; bdk. Yoh 5:36.) Murid-murid Yesus melihat dan mendengar bukti tentang wewenang Kerajaan yang para nabi zaman dahulu ingin saksikan. (Mat 13:16, 17) Lagi pula, Yesus dapat mendelegasikan wewenang kepada murid-muridnya sehingga mereka pun bisa memperlihatkan kuasa yang serupa sebagai wakil-wakilnya yang terlantik, dengan demikian memberikan kekuatan dan bobot kepada pengumuman mereka, ”Kerajaan surga sudah dekat.”—Mat 10:1, 7, 8; Luk 4:36; 10:8-12, 17.
Masuk ke dalam Kerajaan. Yesus menandaskan bahwa kini telah tiba periode istimewa untuk meraih kesempatan. Mengenai Yohanes Pembaptis, pembuka jalan bagi dirinya, Yesus berkata, ”Di antara mereka yang dilahirkan wanita tidak pernah tampil yang lebih besar daripada Yohanes Pembaptis; tetapi seseorang yang lebih kecil dalam kerajaan surga lebih besar daripada dia. Namun sejak masa Yohanes Pembaptis hingga sekarang, kerajaan surga adalah tujuan yang ke arahnya orang-orang mendesak [bi·a′ze·tai], dan mereka yang mendesak maju [bi·a·stai′] merebutnya. [Bdk. AT.] Karena semuanya, Kitab Para Nabi dan Hukum, bernubuat hingga Yohanes.” (Mat 11:10-13) Jadi, masa pelayanan Yohanes, yang akan segera berakhir pada waktu ia dieksekusi, menandai penutup suatu periode, dan menjadi awal periode yang lain. Mengenai kata kerja Yunani bi·a′zo·mai yang digunakan dalam ayat itu, Vine’s Expository Dictionary of Old and New Testament Words mengatakan, ”Kata kerja ini menyiratkan upaya sekuat tenaga.” (1981, Jil. 3, hlm. 208) Mengenai Matius 11:12, pakar Jerman bernama Heinrich Meyer menyatakan, ”Dengan cara inilah digambarkan upaya yang keras dan gigih, bergairah dan tak terbendung untuk memperoleh kerajaan Mesianik yang sudah dekat . . . Minat kepada kerajaan itu begitu antusias dan energik (tidak lagi dengan tenang dan penuh harap). Maka [bi·a·stai′] adalah orang-orang percaya [bukan musuh yang menyerang] yang berjuang keras untuk memilikinya.”—Critical and Exegetical Hand-Book to the Gospel of Matthew karya Meyer, 1884, hlm. 225.
Oleh karena itu, keanggotaan dalam Kerajaan Allah tidak mudah diperoleh, tidak seperti menghampiri sebuah kota yang terbuka yang dapat dimasuki tanpa atau dengan sedikit kesulitan saja. Sebaliknya, Pribadi Yang Berdaulat, Allah Yehuwa, telah menaruh perintang guna mencegah masuk orang-orang yang tidak layak. (Bdk. Yoh 6:44; 1Kor 6:9-11; Gal 5:19-21; Ef 5:5.) Orang-orang yang akan masuk harus melewati jalan yang sempit, menemukan gerbang yang sempit, terus meminta, terus mencari, terus mengetuk, dan jalan akan terbuka. Mereka akan mendapati bahwa jalan itu ”sempit” dalam arti orang-orang yang menempuh jalan itu dilarang melakukan hal-hal yang akan merugikan mereka sendiri atau orang lain. (Mat 7:7, 8, 13, 14; bdk. 2Ptr 1:10, 11.) Mereka mungkin secara kiasan harus kehilangan satu mata atau satu tangan agar dapat masuk. (Mrk 9:43-47) Kerajaan ini bukan plutokrasi (pemerintahan di tangan orang-orang kaya) sehingga seseorang dapat membeli perkenan Raja; orang kaya (Yn., plou′si·os) sulit masuk ke dalamnya. (Luk 18:24, 25) Bukan pula aristokrasi duniawi; kedudukan terkemuka di antara manusia tidak ada artinya. (Mat 23:1, 2, 6-12, 33; Luk 16:14-16) Mereka yang tampaknya adalah orang-orang yang ”pertama”, karena memiliki latar belakang dan reputasi keagamaan yang mengesankan, akan menjadi yang ”terakhir”, dan ”yang terakhir akan menjadi yang pertama” menerima hak-hak istimewa yang berkaitan dengan Kerajaan. (Mat 19:30–20:16) Orang-orang Farisi yang terkemuka tetapi munafik, yang merasa yakin dengan kedudukan mereka yang menguntungkan, akan melihat para sundal dan pemungut pajak yang telah membuat perubahan, masuk ke dalam Kerajaan mendahului mereka. (Mat 21:31, 32; 23:13) Meskipun memanggil Yesus ”Tuan, Tuan”, semua orang munafik yang tidak merespek firman dan kehendak Allah yang disingkapkan melalui Yesus akan ditolak dengan kata-kata, ”Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari hadapanku, hai, orang-orang yang melanggar hukum.”—Mat 7:15-23.
Orang-orang yang dapat masuk adalah yang menomorduakan kepentingan materi dan mencari dahulu Kerajaan serta keadilbenaran Allah. (Mat 6:31-34) Seperti halnya Raja yang diurapi Allah, Kristus Yesus, mereka akan mencintai keadilbenaran dan membenci kefasikan. (Ibr 1:8, 9) Orang-orang yang berpikiran rohani, berbelaskasihan, berhati murni, suka damai, sekalipun menjadi sasaran ejekan dan penganiayaan oleh manusia, akan menjadi calon anggota Kerajaan. (Mat 5:3-10; Luk 6:23) ”Kuk” yang Yesus tawarkan kepada orang-orang demikian untuk dipikul berarti ketundukan kepada wewenangnya sebagai raja. Namun, kuk itu nyaman dan tanggungannya ringan bagi orang-orang yang ”berwatak lembut dan rendah hati” seperti sang Raja. (Mat 11:28-30; bdk. 1Raj 12:12-14; Yer 27:1-7.) Hal ini seharusnya menghangatkan hati para pendengarnya, meyakinkan mereka bahwa pemerintahannya tidak akan memiliki sifat-sifat yang tidak menyenangkan seperti pemerintahan banyak penguasa sebelumnya, baik orang Israel maupun non-Israel. Hal itu memberi mereka alasan untuk percaya bahwa dalam pemerintahannya tidak akan ada pajak yang membebani, kerja paksa, ataupun bentuk-bentuk eksploitasi. (Bdk. 1Sam 8:10-18; Ul 17:15-17, 20; Ef 5:5.) Sebagaimana ditunjukkan oleh kata-kata Yesus belakangan, Kepala pemerintah Kerajaan mendatang ini bukan hanya akan membuktikan diri tidak egois sampai pada taraf memberikan kehidupannya bagi rakyatnya, melainkan semua orang yang bergabung dengannya dalam pemerintahan tersebut juga akan menjadi orang-orang yang berupaya melayani ketimbang dilayani.—Mat 20:25-28; lihat YESUS KRISTUS (Berbagai pekerjaan dan Sifat Pribadinya).
Ketundukan secara sukarela sangat penting. Yesus sendiri memiliki respek yang sangat dalam kepada kehendak dan wewenang Tertinggi Bapaknya. (Yoh 5:30; 6:38; Mat 26:39) Selama perjanjian Hukum masih berlaku, orang-orang Yahudi yang menjadi pengikutnya harus mempraktekkan dan mendukung ketaatan kepada Hukum; siapa pun yang menempuh haluan yang bertentangan tidak boleh masuk ke dalam Kerajaan-Nya. Namun, respek dan ketaatan ini harus datang dari hati, bukan sekadar menjalankan Hukum secara formal atau sepihak dengan menekankan tindakan-tindakan spesifik yang dituntut, melainkan menjalankan prinsip-prinsip dasar yang terkandung di dalamnya yang menyangkut keadilan, belas kasihan, dan kesetiaan. (Mat 5:17-20; 23:23, 24) Kepada penulis yang mengakui kedudukan unik Yehuwa dan yang mengakui bahwa ”mengasihi dia dengan segenap hati dan dengan segenap pengertian dan dengan segenap kekuatan dan hal mengasihi sesama seperti diri sendiri adalah jauh lebih bernilai daripada semua persembahan bakaran yang utuh dan korban”, Yesus berkata, ”Engkau tidak jauh dari kerajaan Allah.” (Mrk 12:28-34) Jadi, dalam segala aspek Yesus membuat jelas bahwa Allah Yehuwa hanya mencari orang-orang yang rela tunduk, mereka yang lebih menyukai jalan-jalan-Nya yang adil-benar dan yang dengan sungguh-sungguh ingin hidup di bawah wewenang Pribadi Tertinggi.
Hubungan perjanjian. Pada malam terakhir bersama murid-muridnya, Yesus memberi tahu mereka tentang ”perjanjian baru” yang akan diberlakukan atas para pengikutnya sebagai hasil korban tebusannya (Luk 22:19, 20; bdk. 12:32); ia sendiri akan menjadi Perantara perjanjian tersebut antara Yehuwa sebagai Pribadi Yang Berdaulat dan para pengikut Yesus. (1Tim 2:5; Ibr 12:24) Selain itu, Yesus membuat suatu perjanjian pribadi dengan para pengikutnya ”untuk suatu kerajaan”, agar mereka ikut bersamanya menikmati hak-hak istimewa kerajaannya.—Luk 22:28-30; lihat PERJANJIAN.
Penaklukan dunia. Walaupun Yesus kemudian ditangkap, diadili, dan dieksekusi sehingga kedudukannya sebagai raja seolah-olah tampak lemah, pada kenyataannya hal itu merupakan tanda bahwa nubuat-nubuat Allah digenapi secara ampuh dan memang diizinkan oleh Allah untuk alasan tersebut. (Yoh 19:10, 11; Luk 24:19-27, 44) Melalui keloyalan dan integritasnya sampai mati, Yesus membuktikan bahwa ”penguasa dunia ini”, Musuh Allah, Setan, ”tidak berkuasa” atas dirinya dan bahwa Yesus benar-benar telah ”menaklukkan dunia”. (Yoh 14:29-31; 16:33) Selain itu, bahkan sewaktu Putra-Nya terpantek di atas tiang, Yehuwa membuktikan kuasa-Nya yang lebih unggul: Cahaya matahari tidak bersinar selama suatu waktu; dan juga terjadi gempa bumi yang hebat dan tirai besar di bait sobek menjadi dua. (Mat 27:51-54; Luk 23:44, 45) Pada hari ketiga setelah itu, Ia memberikan bukti yang jauh lebih besar lagi tentang Kedaulatan-Nya sewaktu Ia membangkitkan Putra-Nya kepada kehidupan roh, sekalipun ada upaya-upaya yang sia-sia dari manusia untuk menghalangi kebangkitan itu dengan menempatkan para penjaga di depan makam Yesus yang dimeteraikan.—Mat 28:1-7.
”Kerajaan Putra yang Ia Kasihi.” Sepuluh hari setelah Yesus naik ke surga, pada hari Pentakosta tahun 33 M, murid-muridnya memperoleh bukti bahwa ia telah ”ditinggikan ke sebelah kanan Allah” ketika Yesus mencurahkan roh kudus ke atas mereka. (Kis 1:8, 9; 2:1-4, 29-33) Dengan demikian, ”perjanjian baru” mulai bekerja atas mereka, dan mereka menjadi inti ’bangsa kudus’ yang baru, Israel rohani.—Ibr 12:22-24; 1Ptr 2:9, 10; Gal 6:16.
Kristus kini duduk di sebelah kanan Bapaknya dan adalah Kepala atas sidang jemaat itu. (Ef 5:23; Ibr 1:3; Flp 2:9-11) Alkitab memperlihatkan bahwa sejak Pentakosta tahun 33 M, suatu kerajaan rohani telah dibentuk atas murid-muridnya. Sewaktu menyurati orang-orang Kristen abad pertama di Kolose, rasul Paulus menyebutkan bahwa Yesus Kristus telah memiliki suatu kerajaan, ”[Allah] telah melepaskan kita dari wewenang kegelapan dan memindahkan kita ke dalam kerajaan Putra yang ia kasihi.”—Kol 1:13; bdk. Kis 17:6, 7.
Kerajaan Kristus sejak hari Pentakosta tahun 33 M adalah suatu kerajaan rohani yang memerintah atas Israel rohani, yaitu orang-orang Kristen yang telah diperanakkan oleh roh Allah untuk menjadi anak-anak rohani Allah. (Yoh 3:3, 5, 6) Pada waktu orang-orang Kristen yang diperanakkan roh tersebut menerima pahala surgawi, mereka tidak lagi menjadi rakyat di bumi di bawah kerajaan rohani Kristus, tetapi akan menjadi raja-raja bersama Kristus di surga.—Pny 5:9, 10.
”Kerajaan Tuan Kita dan Kristusnya.” Rasul Yohanes, yang menulis menjelang penutup abad pertama M, melalui penyingkapan ilahi melihat di muka perwujudan baru pemerintahan Allah Yehuwa melalui Putra-Nya di masa depan. Pada waktu itu, seperti halnya ketika Daud membawa Tabut ke Yerusalem, dapat dikatakan bahwa Yehuwa ’telah mengambil kuasa-Nya yang besar dan mulai memerintah sebagai raja’. Itulah saatnya suara-suara yang nyaring di surga mengumumkan, ”Kerajaan dunia menjadi kerajaan Tuan kita dan Kristusnya, dan ia akan memerintah sebagai raja, kekal selama-lamanya.”—Pny 11:15, 17; 1Taw 16:1, 31.
Ya, ”Tuan kita”, Tuan Yehuwa yang Berdaulat, yang dengan tegas menyatakan wewenang-Nya atas ”kerajaan dunia”, menetapkan perwujudan baru kedaulatan-Nya atas bumi kita. Ia memberi Putra-Nya, Yesus Kristus, bagian sekunder dalam Kerajaan itu, sehingga kerajaan itu dapat disebut sebagai ”kerajaan Tuan kita dan Kristusnya”. Kerajaan ini lebih besar dan lebih luas lingkupnya daripada ”kerajaan Putra yang ia kasihi”, yang disebutkan di Kolose 1:13. ”Kerajaan Putra yang ia kasihi” dimulai pada hari Pentakosta tahun 33 M, dan telah memerintah atas murid-murid Kristus yang terurap; ”kerajaan Tuan kita dan Kristusnya” lahir pada pengujung ”waktu yang ditetapkan bagi bangsa-bangsa” dan memerintah atas seluruh umat manusia di bumi.—Luk 21:24.
Setelah menerima bagian dalam ”kerajaan dunia”, Yesus Kristus mengambil langkah-langkah yang perlu untuk menyingkirkan para penentang kedaulatan Allah. Tindakan pertama diambil di alam surgawi; Setan dan hantu-hantunya dikalahkan lalu dicampakkan ke wilayah bumi. Hasilnya, terdengarlah pengumuman, ”Sekarang keselamatan dan kuasa dan kerajaan Allah kita dan wewenang Kristusnya.” (Pny 12:1-10) Selama periode singkat yang tersisa baginya, Musuh utama ini, Setan, terus menggenapi nubuat di Kejadian 3:15 dengan memerangi ”orang-orang yang masih tersisa” dari ’benih’ wanita, yaitu ”orang-orang kudus” yang akan memerintah bersama Kristus. (Pny 12:13-17; bdk. Pny 13:4-7; Dan 7:21-27.) Meskipun demikian, ”ketetapan-ketetapan [Yehuwa] yang adil-benar” telah dibuat nyata, dan pernyataan penghakiman datang bagaikan tulah atas orang-orang yang menentang Dia, yang akan mengakibatkan kehancuran Babilon Besar yang mistis, penganiaya utama hamba-hamba Allah di bumi.—Pny 15:4; 16:1–19:6.
Setelah itu, ”kerajaan Tuan kita dan Kristusnya” mengutus bala tentara surgawinya untuk melawan para penguasa semua kerajaan di bumi serta bala tentara mereka dalam perang Armagedon, dan menghabisi mereka. (Pny 16:14-16; 19:11-21) Inilah jawaban atas permohonan kepada Allah, ”Biarlah kerajaanmu datang. Biarlah kehendakmu terjadi, seperti di surga, demikian pula di atas bumi.” (Mat 6:10) Setan kemudian dimasukkan ke dalam jurang yang tidak terduga dalamnya dan dimulailah masa seribu tahun pemerintahan Kristus Yesus beserta rekan-rekan penguasanya sebagai raja dan imam atas penduduk bumi.—Pny 20:1, 6.
Kristus ”menyerahkan kerajaan”. Rasul Paulus juga menggambarkan pemerintahan Kristus selama masa kehadirannya. Setelah Kristus membangkitkan para pengikutnya dari kematian, ia mulai ”meniadakan semua pemerintah dan semua wewenang dan kuasa” (yang secara masuk akal memaksudkan semua pemerintahan, wewenang, dan kuasa yang menentang kehendak Allah yang absolut). Kemudian, pada akhir Pemerintahan Mileniumnya, ia akan ”menyerahkan kerajaan kepada Allah dan Bapaknya”, dengan menundukkan diri kepada ”Pribadi yang menundukkan segala sesuatu kepadanya, agar Allah menjadi segala sesuatu bagi setiap orang”.—1Kor 15:21-28.
Mengingat Kristus ”menyerahkan kerajaan kepada Allah dan Bapaknya”, dalam pengertian apa Kerajaannya itu ”abadi”, sebagaimana disebutkan berulang kali dalam Alkitab? (2Ptr 1:11; Yes 9:7; Dan 7:14; Luk 1:33; Pny 11:15) Kerajaannya ”tidak akan pernah binasa”; apa yang telah dicapainya akan bertahan untuk selama-lamanya; ia akan dihormati untuk selama-lamanya karena peranannya sebagai Raja Mesianik.—Dan 2:44.
Selama Pemerintahan Seribu Tahun itu, Kristus juga akan bertindak sebagai imam bagi umat manusia yang taat. (Pny 5:9, 10; 20:6; 21:1-3) Melalui sarana itu berakhirlah kekuasaan dosa dan kematian sebagai raja atas umat manusia yang taat, yang takluk kepada ”hukum” mereka; kebaikan hati yang tidak selayaknya diperoleh dan keadilbenaran itulah yang akan berkuasa. (Rm 5:14, 17, 21) Karena dosa dan kematian akan sepenuhnya disingkirkan dari penduduk bumi, berakhir pula kebutuhan akan peranan Yesus sebagai ”penolong di hadapan Bapak” dalam arti ia tidak perlu lagi mengadakan pendamaian bagi dosa-dosa manusia yang tidak sempurna. (1Yoh 2:1, 2) Dengan demikian, umat manusia akan kembali kepada kondisi semula yang pernah dinikmati manusia sempurna Adam di Eden. Selama Adam sempurna, ia tidak membutuhkan siapa pun sebagai perantara antara dia dan Allah untuk membuat pendamaian. Demikian pula, di pengujung Pemerintahan Seribu Tahun Yesus, penduduk bumi akan siap dan harus memberikan pertanggungjawaban untuk haluan tindakan mereka di hadapan Allah Yehuwa sebagai Hakim Tertinggi, tanpa meminta bantuan kepada siapa pun sebagai perantara atau penolong yang sah. Dengan demikian Yehuwa, Penguasa Tertinggi, menjadi ”segala sesuatu bagi setiap orang”. Ini berarti maksud-tujuan Allah untuk ”mengumpulkan kembali segala perkara dalam Kristus, perkara-perkara di surga dan perkara-perkara di bumi”, sudah akan terwujud sepenuhnya.—1Kor 15:28; Ef 1:9, 10.
Tujuan Pemerintahan Milenium Yesus sudah akan tercapai sepenuhnya. Bumi, yang pernah menjadi pusat pemberontakan, akan dipulihkan menjadi tempat yang lengkap, bersih, dan tidak dapat diganggu gugat dalam wilayah atau daerah kekuasaan Penguasa Universal. Tidak akan ada lagi kerajaan tambahan antara Yehuwa dan umat manusia yang taat.
Namun, setelah itu akan ada suatu ujian akhir atas integritas dan pengabdian semua orang yang tunduk di bumi. Setan dilepaskan dari belenggunya di jurang yang tidak terduga dalamnya. Sehubungan dengan orang-orang yang menyerah kepada bujukan Setan, yang tersangkut adalah sengketa yang pernah diajukan di Eden: keabsahan kedaulatan Allah. Hal itu terlihat sewaktu mereka menyerang ”pasukan orang-orang kudus dan kota yang dikasihi”. Mengingat bahwa sengketa tersebut telah diselesaikan secara hukum dan dinyatakan tuntas oleh Pengadilan surga, dalam hal ini pemberontakan tidak akan diizinkan berlangsung untuk waktu lama. Orang-orang yang tidak tetap loyal di pihak Allah tidak dapat memohon kepada Kristus Yesus sebagai ’penolong pendamaian’, tetapi Allah Yehuwa akan menjadi ”segala sesuatu” bagi mereka, tanpa ada kemungkinan untuk naik banding ataupun meminta penengah. Semua makhluk roh dan manusia yang memberontak akan mendapat vonis ilahi berupa pembinasaan dalam ”kematian kedua”.—Pny 20:7-15.
sumber
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar