Senin, 09 Desember 2013

Natal --- Apa fokusnya ??


Natal—Apa
Fokusnya?

BAGI jutaan orang, Natal dan Tahun Baru adalah waktu bersama keluarga dan teman-teman, waktu untuk menguatkan kembali ikatan kasih. Banyak yang menganggapnya sebagai saat untuk mengenang kembali kelahiran Yesus Kristus dan peranannya sebagai Juru Selamat manusia. Di Rusia, berbeda dengan banyak negeri lainnya, orang tidak selalu boleh merayakan Natal. Meski selama berabad-abad para anggota Gereja Ortodoks Rusia bebas merayakan Natal, mereka dilarang melakukannya selama hampir sepanjang abad ke-20. Apa penyebabnya?

Segera setelah revolusi Komunis Bolshevik tahun 1917, pemerintah Soviet dengan gencar memberlakukan kebijakan ateisme di seluruh pelosok negeri. Natal dengan semua embel-embelnya yang berbau agama dilarang. Negara mulai melancarkan kampanye menentang perayaan Natal dan Tahun Baru. Bahkan, lambang-lambang Natal setempat, seperti pohon Natal dan Ded Moroz, atau Kakek Fros, julukan untuk Sinterklas di Rusia, dilarang keras.

Pada tahun 1935, terjadi perubahan total terhadap cara orang Rusia merayakan Natal dan Tahun Baru. Pohon Natal, Kakek Fros, dan perayaan Tahun Baru diizinkan lagi oleh pemerintah Soviet—tetapi dengan makna yang berbeda. Konon, Kakek Fros akan membawa hadiah bukan pada hari Natal, melainkan pada Tahun Baru. Demikian pula, tidak ada lagi pohon Natal. Yang ada hanyalah pohon Tahun Baru! Jadi, fokusnya benar-benar berubah di Uni Soviet. Pada kenyataannya, perayaan Tahun Baru menggantikan Natal.

Natal menjadi hari raya yang benar-benar sekuler, tanpa makna keagamaan sedikit pun. Pohon Tahun Baru dihiasi, bukan dengan hiasan keagamaan, melainkan dengan hiasan sekuler yang menggambarkan kemajuan Uni Soviet. Jurnal Rusia Vokrug Sveta (Seputar Dunia) menjelaskan, ”Melalui hiasan-hiasan pohon Tahun Baru, kita bisa menelusuri kembali sejarah berdirinya masyarakat Komunis pada berbagai tahun selama era Soviet. Selain hiasan yang sudah umum seperti kelinci kecil, potongan es, dan roti bundar, hiasan berbentuk sabit, palu, dan traktor mulai dibuat. Hiasan ini belakangan diganti dengan patung kecil para penambang dan kosmonaut, anjungan pengeboran minyak, roket, dan kendaraan penjelajah bulan.”

Bagaimana dengan hari Natal itu sendiri? Hari Natal tidak diakui. Malahan, pemerintah Soviet menjadikannya sebagai hari kerja biasa. Mereka yang ingin mengadakan perayaan keagamaan Natal hanya bisa melakukannya secara sembunyi-sembunyi, dengan risiko dibenci dan menanggung akibat yang tidak menyenangkan dari Negara. Ya, di Rusia pada abad ke-20, fokus Natal dan Tahun Baru berubah, dari perayaan keagamaan menjadi perayaan sekuler.

Perubahan Baru-Baru Ini

Pada tahun 1991, Uni Soviet runtuh dan rakyat memperoleh lebih banyak kebebasan. Berakhirlah sudah kebijakan ateisme Negara. Berbagai negara berdaulat yang baru terbentuk bersifat sangat sekuler, dengan dipisahkannya Gereja dari Negara. Banyak orang yang cenderung bersifat rohani merasa bahwa sekarang mereka dapat menjalankan keyakinan agama mereka. Menurut mereka, salah satu cara melakukannya adalah dengan merayakan hari raya keagamaan, yakni Natal. Akan tetapi, tak lama kemudian banyak dari mereka merasa sangat kecewa. Mengapa?

Seraya tahun demi tahun berlalu, perayaan itu semakin dikomersialkan. Ya, seperti halnya di negeri Barat, Natal telah menjadi salah satu momen terbaik bagi kalangan pabrik, pedagang grosir, dan pedagang eceran untuk meraup keuntungan. Hiasan-hiasan Natal dipajang secara mencolok di etalase toko. Musik dan lagu Natal yang bergaya Barat, yang sebelumnya tidak dikenal di Rusia, dilantunkan dari toko-toko. Para pedagang asongan, yang menjinjing tas besar berisi pernak-pernik Natal, menjajakan barang di kereta api dan angkutan umum lainnya. Begitulah situasinya di Rusia saat ini.

Sekalipun ada yang menganggap komersialisme yang mencolok ini tidak ada salahnya, mereka mungkin merasa resah dengan corak lain dari Natal dan Tahun Baru—penyalahgunaan alkohol beserta segala konsekuensi pahitnya. Seorang dokter ruang gawat darurat sebuah rumah sakit di Moskwa menerangkan, ”Bagi para dokter, sudah lumrah jika pada perayaan Tahun Baru ada banyak kecelakaan mulai dari benjol dan memar hingga cedera akibat pisau atau peluru, kebanyakan disebabkan oleh kekerasan dalam keluarga, tawuran dalam keadaan mabuk, dan kecelakaan mobil.” Seorang ilmuwan yang juga staf senior di Akademi Sains Rusia berkata, ”Ada lonjakan angka kematian yang berkaitan dengan alkohol. Angka itu khususnya tinggi pada tahun 2000. Jumlah orang yang bunuh diri dan yang dibunuh melonjak pula.”

Sayang sekali, perilaku seperti ini pada saat Natal dan Tahun Baru di Rusia diperburuk oleh faktor lain. Di bawah kepala berita ”Orang Rusia Merayakan Natal Dua Kali”, surat kabar Izvestiya melaporkan, ”Hampir 1 dari 10 orang Rusia merayakan Natal dua kali. Menurut pengamatan sebuah survei oleh pusat pengawasan ROMIR, 8 persen responden mengakui bahwa mereka merayakan Natal pada tanggal 25 Desember, sesuai kalender Natal Katolik, dan pada tanggal 7 Januari, versi Gereja Ortodoks . . . Bagi sejumlah orang, jelaslah bahwa yang penting bukan makna religius Natal, melainkan kesempatan untuk merayakannya.”

Apakah Fokus Natal Sekarang Benar-Benar Menghormati Kristus?

Jelaslah, ada banyak perilaku tidak saleh yang menyertai Natal dan Tahun Baru. Meski meresahkan, ada yang mungkin merasa bahwa mereka harus merayakan hari-hari tersebut demi merespek Allah dan Kristus. Hasrat untuk menyenangkan Allah memang patut dipuji. Tetapi, apakah Allah dan Kristus benar-benar senang dengan Natal? Simaklah asal usul Natal.

Sebagai contoh, tidak soal pandangan orang tentang sikap Soviet terhadap Natal, ada fakta-fakta sejarah berikut ini yang sulit dibantah, yang dinyatakan dalam Great Soviet Encyclopedia, ”Natal . . . dipinjam dari penyembahan kepada dewa-dewa ’yang sekarat dan bangkit dari kematian’ pada zaman pra-Kristen, yang terutama marak di kalangan bangsa-bangsa agraris yang, biasanya dalam periode titik balik matahari pada musim dingin antara tanggal 21-25 Desember, setiap tahunnya merayakan ’kelahiran’ sang Dewa-Penyelamat, yang memulihkan kehidupan.”

Fakta yang secara akurat dijelaskan oleh ensiklopedia itu mungkin penting bagi Saudara, yakni, ”Kekristenan abad pertama tidak tahu-menahu tentang perayaan Natal. . . . Sejak pertengahan abad keempat, Kekristenan mengasimilasi perayaan titik balik matahari pada musim dingin, mengubahnya dari penyembahan dewa Mitra menjadi perayaan Natal. Yang mula-mula merayakan Natal ialah masyarakat Roma yang religius. Pada abad kesepuluh, Natal, bersama Kekristenan, menyebar ke Rusia dan kemudian digabung dengan perayaan musim dingin bangsa Slavia kuno untuk menghormati roh nenek moyang.”

Mungkin Saudara bertanya, ’Apa yang Firman Allah, Alkitab, katakan tentang kelahiran Yesus pada tanggal 25 Desember?’ Sebenarnya, Alkitab tidak menyebutkan secara spesifik tanggal kelahiran Yesus, dan tidak ada catatan bahwa Yesus sendiri menyebutkannya, apalagi menyuruh untuk merayakannya. Namun, Alkitab membantu kita menentukan waktu kelahiran Yesus.

Menurut Injil Matius, pasal 26 dan 27, Yesus dieksekusi tanggal 14 Nisan, di akhir hari Paskah Yahudi yang jatuh pada tanggal 31 Maret 33 M. Kita tahu dari Injil Lukas bahwa Yesus berusia sekitar 30 tahun sewaktu ia dibaptis dan memulai pelayanannya. (Lukas 3:21-23) Pelayanannya berlangsung selama tiga setengah tahun. Jadi, Yesus berusia kira-kira 33 1/2 tahun sewaktu ia mati. Ia baru akan menginjak usia 34 tahun sekitar tanggal 1 Oktober 33 M. Lukas melaporkan bahwa pada saat Yesus lahir, para gembala ”tinggal di tempat terbuka dan sedang menjalankan giliran jaga atas kawanan mereka pada waktu malam”. (Lukas 2:8) Para gembala tidak akan berada di luar bersama kawanan mereka pada bulan Desember yang dingin, karena salju mungkin akan turun di sekitar Betlehem. Tetapi, mereka bisa saja berada di luar bersama kawanan mereka kira-kira tanggal 1 Oktober, yang berdasarkan bukti adalah saat kelahiran Yesus.

Nah sekarang, bagaimana dengan perayaan Tahun Baru? Sebagaimana telah kita lihat, perayaan ini sarat dengan perilaku bejat. Meskipun ada upaya untuk membuatnya sekuler, asal usulnya pun meragukan.

Jelaslah, dengan adanya fakta-fakta seputar Natal dan Tahun Baru ini, slogan seperti ”Karena Yesus-lah, kita merayakannya” telah kehilangan maknanya. Jika Saudara kecewa dengan Natal yang diwarnai oleh komersialisme dan perilaku yang meresahkan, serta asal usul kafirnya yang menjijikkan, Saudara tidak perlu berkecil hati. Ada cara yang tepat untuk memperlihatkan rasa hormat yang patut kepada Allah dan Kristus, dan juga untuk memperkuat ikatan keluarga.

Cara yang Lebih Baik untuk Menghormati Allah dan Kristus

Alkitab memberi tahu kita bahwa Yesus Kristus datang untuk ”memberikan jiwanya sebagai tebusan untuk penukar bagi banyak orang”. (Matius 20:28) Ia membiarkan dirinya dieksekusi, rela mati demi dosa-dosa kita. Ada yang mungkin ingin menghormati Kristus, dan merasa bahwa Natal adalah saat yang tepat untuk melakukannya. Tetapi, sebagaimana telah kita lihat, Natal dan Tahun Baru hampir tidak ada hubungannya sama sekali dengan Kristus dan berasal dari perayaan kafir. Selain itu, meski sangat menarik bagi beberapa orang, Natal diwarnai oleh komersialisme yang mencolok. Lebih jauh, perlu diakui bahwa perayaan Natal dikaitkan dengan perilaku memalukan yang tidak menyenangkan Allah dan Kristus.

Bagaimana seharusnya tanggapan orang yang ingin menyenangkan Allah? Ketimbang berpaut pada tradisi manusia yang mungkin menenteramkan perasaan religius tetapi bertentangan dengan Alkitab, orang yang tulus akan mencari cara yang benar untuk menghormati Allah dan Kristus. Apa gerangan cara yang benar itu, dan apa yang harus kita lakukan?

Kristus sendiri memberi tahu kita, ”Ini berarti kehidupan abadi, bahwa mereka terus memperoleh pengetahuan mengenai dirimu, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenai pribadi yang engkau utus, Yesus Kristus.” (Yohanes 17:3) Ya, orang yang benar-benar tulus berupaya memperoleh pengetahuan yang saksama tentang cara menghormati Allah dan Kristus. Kemudian, ia menerapkan pengetahuan ini bukan hanya selama waktu tertentu dalam setahun, melainkan dalam kehidupan sehari-hari. Allah sangat senang dengan upaya yang tulus tersebut, yang dapat membimbing pada kehidupan abadi.

Apakah Saudara ingin keluarga Saudara termasuk di antara orang-orang yang benar-benar menghormati Allah dan Kristus selaras dengan Alkitab? Saksi-Saksi Yehuwa telah membantu jutaan keluarga di seluruh dunia untuk memperoleh pengetahuan yang sangat penting dari Alkitab. Silakan hubungi Saksi-Saksi Yehuwa di daerah Saudara atau surati mereka ke alamat yang tertera di halaman 2 majalah ini.
[Catatan Kaki]
Sebelum revolusi Oktober 1917, Rusia menggunakan kalender yang lebih lama yakni kalender Julius, sedangkan kebanyakan negara telah beralih ke kalender Gregorius. Pada tahun 1917, kalender Julius 13 hari lebih lambat daripada kalender Gregorius. Setelah revolusi, Soviet beralih ke kalender Gregorius, sehingga kalender yang berlaku di Rusia sama dengan kalender kebanyakan negara lain di dunia. Namun, Gereja Ortodoks tetap mempertahankan kalender Julius untuk penentuan hari-hari rayanya, dengan menyebutnya kalender ”Lama”. Saudara mungkin mendengar bahwa Natal di Rusia dirayakan pada tanggal 7 Januari. Tetapi, ingatlah bahwa tanggal 7 Januari di kalender Gregorius adalah tanggal 25 Desember di kalender Julius. Jadi, banyak orang Rusia mengaturnya begini: 25 Desember, Natal versi Barat; 1 Januari, Tahun Baru sekuler; 7 Januari, Natal versi Gereja Ortodoks; 14 Januari, Tahun Baru kalender Lama.

[Kotak/Gambar di hlm. 7]

Asal Usul Perayaan Tahun Baru

Imam Ortodoks Georgia Angkat Suara

”Hari raya Tahun Baru berasal dari sejumlah hari raya kafir di Roma kuno. Tanggal 1 Januari adalah perayaan yang dibaktikan bagi dewa kafir Janus, dan nama bulan tersebut diambil dari namanya. Patung Janus memiliki dua muka yang menghadap arah berlawanan, yang artinya ia melihat baik masa lalu maupun masa sekarang. Ada ungkapan bahwa barang siapa menyambut tanggal 1 Januari dengan kegembiraan, gelak tawa, dan kelimpahan akan melewati sepanjang tahun dengan bahagia dan sejahtera. Takhayul yang sama mendasari dirayakannya tahun baru oleh banyak saudara setanah air kita . . . Pada hari-hari raya kafir tertentu, manusia benar-benar dikorbankan kepada berhala. Ada perayaan yang diwarnai dengan pesta seks liar, perzinaan, dan percabulan. Dalam kesempatan lain, misalnya pada perayaan dewa Janus, orang makan dan minum berlebihan, mabuk-mabukan, disusul dengan segala macam kebejatan seksual. Jika kita mengingat bahwa kita sendiri dulunya merayakan Tahun Baru, kita harus mengakui bahwa kita semua telah ikut serta dalam perayaan kafir itu.”—Sebuah surat kabar Georgia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar