RABU, 29 FEBRUARI 2012 | 03:22 WIB
TEMPO.CO , Jakarta:Para ilmuwan Inggris menemukan spesies cacing pipih yang dapat mengatasi proses penuaan hingga berpotensi hidup abadi. Mereka mengatakan temuan ini membuka peluang mencegah sel tubuh manusia mengalami penuaan.
Cacing pipih "panjang umur" tersebut dikenal sebagai cacing planaria. Cacing mencegah penuaan dengan cara mempertahankan panjang telomer, bagian penting dari DNA mereka, selama regenerasi.
"Data kami memenuhi prediksi tentang apa yang diperlukan binatang untuk berpotensi hidup abadi," kata Aziz Aboobaker dari Britain's University of Nottingham, Inggris. "Tujuan kami berikutnya adalah memahami mekanisme detil tentang bagaimana mengembangkan binatang abadi."
Penelitian Aboobaker dan rekan-rekannya dipublikasikan dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences, Senin 27 Februari 2012 kemarin.
Aboobaker mengatakan, cacing planaria telah lama menarik perhatian para ilmuwan karena kemampuan regenerasinya yang sangat luar biasa. Seekor cacing planaria yang dipotong melintang atau membujur akan sama-sama menghasilkan dua ekor cacing yang hidup terpisah.
Tim peneliti yang dipimpin Aboobaker mempelajari dua jenis perlakuan seksual cacing planaria, yakni cacing yang bereproduksi secara seksual seperti manusia, dan cacing yang bereproduksi secara aseksual dengan cara membelah diri.
Cacing pada kedua jenis perlakuan sama-sama menunjukkan kemampuan regenerasi tanpa batas dengan cara menumbuhkan otot baru, kulit, usus, dan bahkan seluruh bagian otak secara berulang kali. Namun bedanya, Aboobaker mengatakan, cacing yang bereproduksi secara aseksual juga memperbaharui persediaan enzim kunci yang dapat membuat mereka hidup abadi.
Para ilmuwan mengetahui bahwa salah satu faktor kunci yang terkait dengan penuaan sel adalah panjang telomer. Telomer adalah bagian DNA yang menutup ujung kromosom, melindunginya dari kerusakan dan hilangnya fungsi sel terkait dengan penuaan.
"Semakin pendek telomer diperkirakan menjadi indikator lebih cepatnya penuaan," ujar Aboobaker.
Penelitian sebelumnya, yang memenangkan Hadiah Nobel untuk Kedokteran tahun 2009, menunjukkan bahwa telomer dapat dikelola dengan aktivitas enzim yang disebut telomerase. Pada organisme yang bereproduksi secara seksual, enzim telomerase paling aktif dijumpai selama tahap awal perkembangan tubuh.
Namun Aboobaker dan timnya menemukan bahwa pada cacing yang berkembang biak secara aseksual, dalam penelitian ini adalah cacing planaria, jumlah enzim telomerase meningkat tajam selama regenerasi. Faktor ini memungkinkan sel-sel punca mempertahankan telomer karena saat proses membelah diri memungkinkan terjadinya penggantian jaringan tubuh yang hilang.
Kepala Dewan Penelitian Bioteknologi dan Ilmu Biologi, Douglas Kell, menggambarkan temuan itu sangat menarik. "Memberikan kontribusi nyata terhadap pemahaman dasar kita tentang beberapa proses yang terlibat dalam penuaan," ujar dia.
Penelitian tersebut, menurut Kell, juga turut membangun fondasi yang kuat untuk meningkatkan kesehatan dan potensi umur panjang pada organisme lain. "Termasuk manusia," katanya dalam sebuah pernyataan.
sumber
REUTERS | MAHARDIKA SATRIA HADI
Cacing pipih "panjang umur" tersebut dikenal sebagai cacing planaria. Cacing mencegah penuaan dengan cara mempertahankan panjang telomer, bagian penting dari DNA mereka, selama regenerasi.
"Data kami memenuhi prediksi tentang apa yang diperlukan binatang untuk berpotensi hidup abadi," kata Aziz Aboobaker dari Britain's University of Nottingham, Inggris. "Tujuan kami berikutnya adalah memahami mekanisme detil tentang bagaimana mengembangkan binatang abadi."
Penelitian Aboobaker dan rekan-rekannya dipublikasikan dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences, Senin 27 Februari 2012 kemarin.
Aboobaker mengatakan, cacing planaria telah lama menarik perhatian para ilmuwan karena kemampuan regenerasinya yang sangat luar biasa. Seekor cacing planaria yang dipotong melintang atau membujur akan sama-sama menghasilkan dua ekor cacing yang hidup terpisah.
Tim peneliti yang dipimpin Aboobaker mempelajari dua jenis perlakuan seksual cacing planaria, yakni cacing yang bereproduksi secara seksual seperti manusia, dan cacing yang bereproduksi secara aseksual dengan cara membelah diri.
Cacing pada kedua jenis perlakuan sama-sama menunjukkan kemampuan regenerasi tanpa batas dengan cara menumbuhkan otot baru, kulit, usus, dan bahkan seluruh bagian otak secara berulang kali. Namun bedanya, Aboobaker mengatakan, cacing yang bereproduksi secara aseksual juga memperbaharui persediaan enzim kunci yang dapat membuat mereka hidup abadi.
Para ilmuwan mengetahui bahwa salah satu faktor kunci yang terkait dengan penuaan sel adalah panjang telomer. Telomer adalah bagian DNA yang menutup ujung kromosom, melindunginya dari kerusakan dan hilangnya fungsi sel terkait dengan penuaan.
"Semakin pendek telomer diperkirakan menjadi indikator lebih cepatnya penuaan," ujar Aboobaker.
Penelitian sebelumnya, yang memenangkan Hadiah Nobel untuk Kedokteran tahun 2009, menunjukkan bahwa telomer dapat dikelola dengan aktivitas enzim yang disebut telomerase. Pada organisme yang bereproduksi secara seksual, enzim telomerase paling aktif dijumpai selama tahap awal perkembangan tubuh.
Namun Aboobaker dan timnya menemukan bahwa pada cacing yang berkembang biak secara aseksual, dalam penelitian ini adalah cacing planaria, jumlah enzim telomerase meningkat tajam selama regenerasi. Faktor ini memungkinkan sel-sel punca mempertahankan telomer karena saat proses membelah diri memungkinkan terjadinya penggantian jaringan tubuh yang hilang.
Kepala Dewan Penelitian Bioteknologi dan Ilmu Biologi, Douglas Kell, menggambarkan temuan itu sangat menarik. "Memberikan kontribusi nyata terhadap pemahaman dasar kita tentang beberapa proses yang terlibat dalam penuaan," ujar dia.
Penelitian tersebut, menurut Kell, juga turut membangun fondasi yang kuat untuk meningkatkan kesehatan dan potensi umur panjang pada organisme lain. "Termasuk manusia," katanya dalam sebuah pernyataan.
sumber
REUTERS | MAHARDIKA SATRIA HADI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar