Kamis, 22 Mei 2014

Tradisi Masyarakat Islam Yang Bersumber Dari Ajaran Hindu



Ditulis pada 26 Mei 2012


Banyak upacara adat yang menjadi tradisi di beberapa lingkungan masyarakat Islam yang sebenarnya tidak diajarkan dalam Islam. Tradisi tersebut ternyata bukan bersumber dari agama Islam, tetapi bersumber dari agama Hindu. Agar lebih jelasnya dan agar umat Islam tidak tersesat, marilah kita telah secara singkat hal-hal yang seolah-olah bermuatan Islam tetapi sebenarnya bersumber dari agama Hindu.
1. Tentang doa selamatan kematian 7, 40, 100 dan 1000 hari
Kita mengenal sebuah ritual keagamaan di dalam masyarakat muslim ketika terjadi kematian adalah menyelenggarakan selamatan/kenduri kematian berupa doa-doa, tahlilan, yasinan (karena yang biasa dibaca adalah surat Yasin) di hari ke 7, 40, 100, dan 1000 harinya. Disini kami mengajak anda untuk mengkaji permasalahan ini secara praktis dan ilmiah.
Setelah diteliti ternyata amalan selamatan kematian pada hari yang ditentukan diatas tersebut bukan berasal dari Al Quran, Hadits (sunah rasul) maupun Ijma Sahabat, malah kita bisa melacaknya dikitab-kitab agama hindu.
Dalam keyakinan Hindu roh leluhur (orang mati) harus dihormati karena bisa menjadi dewa terdekat dari manusia (Kitab Weda Smerti Hal. 99 No. 192). Selain itu dikenal juga dalam Hindu adanya Samsara (menitis/reinkarnasi).
Dalam Kitab Manawa Dharma Sastra Weda Smerti hal. 99, 192, 193 yang berbunyi :
Termashurlah selamatan yang diadakan pada hari pertama, ketujuh, empat puluh, seratus dan seribu.

Dalam buku media Hindu yang berjudul : “Nilai-nilai Hindu dalam budaya Jawa, serpihan yang tertinggal” karya : Ida Bedande Adi Suripto, ia mengatakan : “Upacara selamatan untuk memperingati hari kematian orang Jawa hari ke 1, 7, 40, 100, dan 1000 hari, jelas adalah ajaran Hindu”.
Sedangkan penyembelihan kurban untuk orang mati pada hari (hari 1,7,4,….1000) terdapat pada kitab Panca Yadnya hal. 26, Bagawatgita hal. 5 no. 39 yang berbunyi:
 “Tuhan telah menciptakan hewan untuk upacara korban, upacara kurban telah diatur sedemikian rupa untuk kebaikan dunia.”
2. Tentang selamatan yang biasa disebut Genduri (Kenduri atau Kenduren)
Genduri merupakan upacara ajaran Hindu. Masalah ini terdapat pada kitab sama weda hal. 373 (no.10) yang berbunyi:
Sloka prastias mai pipisatewikwani widuse bahra aranggaymaya jekmayipatsiyada duweni narah”.
“Antarkanlah sesembahan itu pada Tuhanmu Yang Maha Mengetahui”. Yang gunanya untuk menjauhkan kesialan.
Juga terdapat pada kitab Siwa Sasana hal. 46 bab ‘Panca maha yatnya’ dan pada Upadesa hal. 34, yang isiya:
a. Dewa Yatnya (selamatan) Yaitu korban suci yang secara tulus ikhlas ditujukan kepada Sang Hyang Widhi dengan jalan bakti sujud memuji, serta menurut apa yang diperintahkan-Nya (tirta yatra) metri bopo pertiwi.
b. Pitra Yatnya Yaitu korban suci kepada leluhur (pengeling-eling) dengan memuji yang ada di akhirat supaya memberi pertolongan kepada yang masih hidup.
c. Manusia Yatnya Yaitu korban yang diperuntukan kepada keturunan atau sesama supaya hidup damai dan tentram.
d. Resi Yatnya Yaitu korban suci yang diperuntukan kepada guru atas jasa ilmu yang diberikan (danyangan).
e. Buta Yatnya Yaitu korban suci yang diperuntukan kepada semua makhluk yang kelihatan maupun tidak, untuk kemulyaan dunia ini (unggahan).
3. Tentang upacara untuk wanita hamil ( Telonan, Mitoni dan Tingkepan)
Telonan, Mitoni dan Tingkepan yang sering kita jumpai di tengah-tengah masyarkat adalah tradisi masyarakat Hindu. Upacara ini dilakukan dalam rangka memohon keselamatan anak yang ada di dalam rahim (kandungan). Upacara ini biasa disebut Garba Wedana (garba : perut, Wedana : sedang mengandung). Selama bayi dalam kandungan dibuatkan tumpeng selamatan/sesaji  Telonan, Mitoni, Tingkepan.
Intisari dari sesajinya adalah (terdapat dalam Kitab Upadesa hal. 46) :
1.  Pengambean, yaitu upacara pemanggilan atman (urip)
2.   Sambutan, yaitu upacara penyambutan atau peneguhan letak atman (urip) pada si jabang bayi
3.  Janganan, yaitu upacara suguhan terhadap “Empat Saudara” (sedulur papat) yang menyertai kelahiran sang bayi, yaitu : darah, air, barah, dan ari-ari (orang Jawa menyebut  kakang kawah adi ari-ari)
Hal ini dilakukan untuk panggilan kepada semua kekuatan-kekuatan alam yang tidak kelihatan tapi mempunyai hubungan langsung pada kehidupan sang bayi dan juga pada panggilan kepada ‘Saudara Empat” yang bersama-sama ketika sang bayi dilahirkan, untuk bersama-sama diupacarai, diberi pensucian dan suguhan agar sang bayi mendapat keselamatan dan selalu dijaga oleh unsur kekuatan alam.
Sedangkan upacara terhadap ari-ari, ialah setelah ari-ari terlepas dari si bayi lalu dibersihkan dengan air yang kemudian dimasukkan ke dalam tempurung kelapa selanjutnya dimasukkan ke dalam kendil atau guci. Ke dalamnya dimasukkah tulisan “Aum” agar sang Hyang Widhi melindungi. Selain itu dimasukkan juga berbagai benda lain sebagai persembahan kepada Hyang Widhi. Kendil kemudian ditanam di pekarangan, dikanan pintu apabila bayinya laki-laki, dikiri pintu apabila bayinya perempuan.
Kendil yang berisi ari-ari ditimbun dengan baik, dan pada malam harinya diberi lampu, selama tiga bulan. Apa yang diperbuat kepada si bayi maka diberlakukan juga kepada Saudara Empat tersebut. Kalau si bayi setelah dimandikan, maka airnya juga disiramkan kepada kendil tersebut. (Kitab Upadesa, tentang ajaran-ajaran Agama Hindu, oleh : Tjok Rai Sudharta, MA. dan Drs. Ida Bagus Oka Punia Atmaja, cetakan kedua 2007)
 *****
Dengan beberapa contoh kasus diatas cukup jelas bagi kita bahwa tradisi-tradisi tersebut sebenarnya berasal dari ajaran agama Hindu. Pada awalnya langkah akulturasi ini dilakukan para ulama pelopor penyebaran Islam di Indonesia (Wali Songo) dengan maksud agar masyarakat Indonesia – yang awalnya memang beragama Hindu – lebih mudah untuk menerima Islam. Namun strategi dakwah ini tentu tidak berhenti sampai disana saja. Keislaman seperti itu butuh ‘pemurnian’ karena seperti sabda Rasulullah :
“Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah merupakan kesesatan”. (HR Abu Dawud, no. 4607; Tirmidzi, 2676; Ad Darimi; Ahmad; dan lainnya).
“Sesungguhnya sebaik baik perkataan adalah kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk muhammad sholullah alaihi wasalam, sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan, setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka”(HR Abu dawud , an-Nasa’i, Akhmad)
Sebagian saudara-saudara muslim kita mungkin tetap bergigih mempertahankan pencampuran (senkretisasi) ritual hindu –islam tersebut dengan dalih untuk menghormati kebijaksanaan para leluhur/nenek moyang. Namun sebagai muslim yang baik apakah kita akan lebih memegang perkataan nenek moyang kita daripada apa-apa yang di perintahkan Allah dan RasulNya?
Allah berfirman :
”Dan apabila dikatakan kepada mereka :”Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah”. Mereka menjawab :”(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. Apakah mereka akan mengikuti juga, walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (Qs Al Baqarah : 170)
Kita tentu tak mau agama kita yang mulia ini mengalami nasib serupa seperti agama-agama samawi lainnya (Yahudi dan Kristen) dimana alasan adat budaya telah mengambil alih dalil-dalil utama kitab suci sendiri. Karena alasan menghormati leluhur dan budaya lokal itulah kenapa umat kristiani sampai hari ini masih memperingati 25 Desember (hari kelahiran  dewa matahari bangsa Romawi)  itu menjadi hari kelahiran Yesus. Baca : Asal-usul Penetapan 25 Desember Sebagai Hari Kelahiran Yesus
Allah berfirman :
“Dan janganlah kamu mencampuradukkan Kebenaran dengan Kebatilan dan janganlah kamu sembunyikan kebenaran sedangkan kamu mengetahuinya” (Qs Al Baqarah : 42)
Allah menyuruh kita untuk tidak boleh mencampuradukkan ajaran agama islam (kebenaran) dengan ajaran agama Hindu (kebatilan) tetapi kita malah ikut perkataan manusia bahwa mencampuradukkan agama itu boleh, Apa manusia itu lebih pintar dari Allah?
Selanjutnya Allah berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu”.(Qs. Albaqarah : 208).
Allah menyuruh kita dalam berislam secara kaffah (menyeluruh) tidak setengah-setengah. Setengah Islam setengah Hindu.
 *****
Karena seperti yang telah umum diketahui bahwa tradisi-tradisi Islam diatas banyak dilakukan oleh masyarakat Islam yang mengaku dari kalangan nahdliyin (NU), maka kami coba kutipkan beberapa fatwa ulama NU untuk mengetahui bagaimana sebenarnya pandangan NU tentang pencampuran  (sinkretisasi) ritual islam-hindu ini.
1. Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke 1 
Keputusan Masalah Diniyyah No: 18 / 13 Rabi’uts Tsaani 1345 H / 21 Oktober 1926
Tanya :
Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut?
Jawab :
Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya makruh, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu. Tapi banyak mudharatnya .
 2. Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke 5 
 Di Pekalongan, pada tanggal 13 Rabiul Tsani 1349 H / 7 September 1930 M.
Lihat halaman : 58.
Tanya :
Bagaimana hukumnya melempar kendi yang penuh air hingga pecah pada waktu orang-orang yang menghadiri upacara peringatan bulan ke tujuh dari umur kandungan pulang dengan membaca shalawat bersama-sama, dan dengan harapan supaya mudah kelahiran anak kelak. Apakah hal tersebut hukumnya haram karena termasuk membuang-buang uang (tabzir) ?
Jawab :
Ya, perbuatan tersebut hukumnya haram karena termasuk tabdzir.
3. Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke 7 
Di Bandung, pada tanggal 13 Rabiul Tsani 1351 H / 9 Agustus 1932 M.
Lihat halaman : 71.
Menanam ari-ari (masyimah/tembuni) hukumnya sunnah. Adapun menyalakan lilin (lampu) dan menaburkan bunga-bunga di atasnya itu hukumnya haram, karena membuang-buang harta (tabzir) yang tidak ada manfa’atnya.
Semoga jadi bahan perenungan bagi kita semua. Wassalam..

sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar