Sabtu, 30 Maret 2013

Agama berpihak.

Agama
Berpihak

PADA tanggal 1 September 1939, Jerman menyerbu Polandia, dengan demikian menyulut Perang Dunia II. Tiga minggu kemudian, The New York Times memuat tajuk, ”Tentara Jerman Dimobilisasi Gereja.” Apakah gereja-gereja Jerman benar-benar mendukung peperangan Hitler?

Friedrich Heer, profesor sejarah beragama Katolik Roma di Vienna University, mengakui bahwa memang demikianlah halnya, ”Menurut fakta yang tak dapat dielakkan dari sejarah Jerman, Salib dan swastika menjadi lebih erat lagi, hingga swastika memproklamasikan berita kemenangan dari menara katedral-katedral Jerman, dengan bendera-bendera swastika di sekeliling altar dan para teolog Katolik dan Protestan, para pastor, tokoh-tokoh gereja, dan para negarawan menyambut aliansi dengan Hitler.”

Memang, para pemimpin gereja memberi dukungan habis-habisan kepada upaya peperangan Hitler, sebagaimana ditulis oleh Gordon Zahn profesor yang beragama Katolik Roma, ”Setiap orang Katolik Jerman yang berpaling kepada para pemuka agamanya untuk mendapatkan bimbingan dan pengarahan rohani berkenaan dinas dalam peperangan Hitler akan mendapat jawaban yang sangat mirip dengan yang akan diberikan oleh sang pemimpin Nazi sendiri.”

Agama-Agama
di Pihak Musuh

Tetapi, apa yang dikatakan gereja-gereja di negara-negara musuh Jerman? The New York Times tanggal 29 Desember 1966 melaporkan, ”Di masa lalu, hierarki-hierarki Katolik setempat hampir selalu mendukung peperangan bangsa mereka, memberkati pasukan dan memanjatkan doa-doa memohon kemenangan, sementara kelompok uskup lain di pihak musuh secara terang-terangan mendoakan hasil yang sebaliknya.”

Apakah dukungan kepada kedua pasukan yang bertikai ini dilakukan dengan restu Vatikan? Pertimbangkan: Pada tanggal 8 Desember 1939, hanya tiga bulan setelah pecahnya Perang Dunia II, Paus Pius XII mengeluarkan surat pastoral Asperis Commoti Anxietatibus. Surat tersebut ditujukan kepada para pendeta militer dalam pasukan negara-negara yang sedang berperang, dan ia mendesak kedua belah pihak untuk menaruh keyakinan kepada uskup militer masing-masing. Surat itu memperingatkan para pendeta militer ”sebagai pejuang-pejuang di bawah bendera negara mereka agar juga berjuang demi Gereja”.

Agama sering mengambil pimpinan secara agresif dalam memobilisasi negara-negara untuk berperang. ”Bahkan dalam gereja-gereja kami, bendera-bendera peperangan kami kibarkan,” demikian pengakuan almarhum Harry Emerson Fosdick, seorang pendeta Protestan. Dan berkenaan perang dunia pertama, brigadir jenderal Inggris Frank P. Crozier mengatakan, ”Gereja-gereja Kristen adalah promotor-promotor haus darah terbaik yang kita miliki, dan kami memanfaatkan mereka tanpa batas.”

Akan tetapi, itu adalah riwayat agama di masa lalu. Bagaimana dengan peranannya dewasa ini dalam peperangan di republik-republik bekas Yugoslavia, yang mayoritas penduduknya beragama Katolik Roma atau Ortodoks?

Tanggung
Jawab Agama

Sebuah tajuk di Asiaweek tertanggal 20 Oktober 1993, menyatakan, ”Bosnia Adalah Episentrum Konflik Agama.” Sebuah tajuk untuk ulasan di San Antonio Express-News tertanggal 13 Juni 1993, menyatakan, ”Para Pemimpin Agama Hendaknya Mengakhiri Kesengsaraan di Bosnia.” Artikel itu mengatakan, ”Agama Katolik Roma, Ortodoks Timur dan Islam . . . tidak dapat melepaskan tanggung jawab atas apa yang sedang terjadi. Kali ini tidak, karena seluruh dunia menyaksikan warta berita di TV setiap malam. Itu adalah perang agama mereka. . . . Prinsip bahwa para pemimpin agama memikul tanggung jawab atas peperangan sudah jelas. Kesalehan palsu mereka telah menyulut peperangan. Dengan memberkati satu pihak melawan pihak yang lain, mereka melakukannya.”

Misalnya, mengapa kebencian antara para anggota Gereja Katolik Roma dan Gereja Ortodoks Timur begitu besar? Para paus, patriarkh, dan pemimpin gereja lainnyalah yang bertanggung jawab. Sejak saat pemisahan total antara agama-agama ini pada tahun 1054, para pemimpin gereja terus memupuk kebencian dan peperangan di antara para anggota mereka. Surat kabar Montenegro Pobeda, tertanggal 20 September 1991, menuding perpecahan keagamaan berikut akibat-akibatnya dalam sebuah artikel tentang pertempuran baru-baru ini. Di bawah judul ”Para Pembunuh Atas Nama Allah”, artikel tersebut menjelaskan,

”Ini bukan persoalan politik antara [presiden Kroatia] Tudjman dan [pemimpin Serbia] Milošević, melainkan ini merupakan peperangan agama. Perlu dinyatakan bahwa hampir seribu tahun telah berlalu sejak Paus memutuskan untuk menyingkirkan saingannya yaitu agama Ortodoks. . . . Pada tahun 1054 . . . Paus mengumumkan bahwa Gereja Ortodoks bertanggung jawab atas pemisahan ini. . . . Pada tahun 1900, kongres Katolik yang pertama secara gamblang menjelaskan rencana pembantaian terhadap gereja Ortodoks untuk abad ke-20. Rencana [ini] sekarang sedang terwujud.”

Akan tetapi, konflik baru-baru ini bukanlah contoh yang pertama dari pertikaian agama pada abad ini. Lima puluh tahun yang lalu, selama Perang Dunia II, orang-orang Katolik Roma berupaya menghapus keberadaan Gereja Ortodoks di wilayah itu. Dengan dukungan paus, gerakan nasionalis Kroatia yang disebut Ustashi mulai berkuasa di negara Kroatia merdeka. The New Encyclopædia Britannica melaporkan bahwa pemerintahan yang direstui Vatikan ini menjalankan ”praktek-praktek yang luar biasa brutal, termasuk eksekusi atas ratusan ribu warga Serbia dan Yahudi”.

Dalam buku The Yugoslav Auschwitz and the Vatican, bukan hanya pembunuhan massal ini yang didokumentasikan—yang melibatkan puluhan ribu korban—namun keterlibatan Vatikan dalam praktek-praktek tersebut juga didokumentasikan.

Di lain pihak, Gereja Ortodoks telah mendukung orang-orang Serbia dalam pertempuran mereka. Malahan, kata-kata salah seorang pemimpin unit Serbia telah dikutip, ’Sang patriarkh adalah komandanku.’

Apa yang dapat dilakukan untuk menghentikan pembunuhan, yang di Bosnia dan Herzegovina saja telah kehilangan sebanyak 150.000 jiwa tewas ataupun hilang? Fred Schmidt menyatakan dalam San Antonio Express-News bahwa Dewan Keamanan PBB seharusnya mengeluarkan ”sebuah resolusi formal yang mendesak paus, patriarkh Konstantinopel, dan [para pemimpin lainnya] dari gereja Katolik, Ortodoks Timur, dan Islam yang memiliki yurisdiksi di Bosnia-Herzegovina untuk segera memerintahkan agar pertempuran dihentikan dan mengadakan perundingan untuk menentukan bagaimana para pengikut mereka dapat berupaya hidup berdampingan dengan para pemeluk agama lain”.

Dengan nada serupa, sebuah komentar di Progress Tribune dari Scottsdale, Arizona, menyimpulkan bahwa perang ”dapat dihentikan apabila para pemimpin agama di sana membuat upaya yang sungguh-sungguh untuk menghentikannya”. Artikel itu menyarankan agar mereka melakukan itu ”dengan segera mengekskomunikasi anggota jemaat yang menembakkan peluru di Sarajevo”.

Tidak
Ada Kekuatan Sejati untuk Perdamaian

Akan tetapi, para paus secara konsisten telah menolak untuk mengekskomunikasi para penjahat perang yang paling keji, bahkan meskipun sesama penganut Katolik memohon agar tindakan demikian diambil. Misalnya, Catholic Telegraph-Register dari Cincinnati, Ohio, AS, di bawah judul ”Diasuh sebagai Katolik namun Menyangkal Iman—Kata Telegram kepada Paus”, melaporkan, ”Suatu permohonan telah diajukan kepada Pius XII agar Reichsfuehrer Adolph Hitler diekskomunikasi . . . ’Adolph Hitler’, demikian sebagian isi [telegram], ’dilahirkan dari orang-tua yang beragama Katolik, dibaptis sebagai pemeluk agama Katolik, dan diasuh serta dididik secara Katolik’.” Namun, Hitler tidak pernah diekskomunikasi.

Juga, pertimbangkan situasi di berbagai bagian dari belahan Afrika tempat berkecamuknya peperangan yang brutal. Lima belas uskup Katolik Roma dari bangsa-bangsa Afrika seperti Burundi, Rwanda, Tanzania, Uganda, dan Zaire mengakui bahwa, meskipun terdapat banyak ”orang Kristen” yang terbaptis di wilayah itu, ”konflik internal telah mengarah kepada pembantaian, pembinasaan, dan pengusiran secara paksa atas orang-orang”. Para uskup mengakui bahwa akar dari problem itu ”adalah karena agama Kristen belum cukup meresap dalam mental masyarakat”.

National
Catholic Reporter tertanggal 8 April 1994, mengatakan bahwa ”paus . . . merasakan ’kepedihan yang hebat’ setelah mendengar laporan terbaru tentang konflik di sebuah negara kecil di Afrika [Burundi], yang penduduknya mayoritas Katolik”. Paus mengatakan bahwa di Rwanda, tempat sekitar 70 persen penduduknya beragama Katolik, ”bahkan orang Katolik bertanggung jawab” atas pembunuhan. Ya, agama Katolik di kedua belah pihak telah saling membantai, sama seperti yang telah mereka lakukan dalam tak terhitung banyaknya peperangan di masa lalu. Dan, seperti telah kita ketahui, agama-agama lain pun sama saja.

Oleh karena itu, apakah kita harus menyimpulkan bahwa semua agama berpihak dalam peperangan? Apakah ada agama yang merupakan kekuatan sejati bagi perdamaian?

[Gambar
di hlm. 22]

Hitler, di sini terlihat bersama papal nuncio Basallo di Torregrossa, tidak pernah diekskomunikasi

[Keterangan]

Bundesarchiv Koblenz

Tidak ada komentar:

Posting Komentar