Sabtu, 30 Maret 2013

Gereja katolik dan Holocaust

Gereja
Katolik dan Holocaust
Oleh koresponden Sedarlah! di Italia

SEJAK tahun 1987, diskusi rencana diterbitkannya sebuah dokumen pengakuan bahwa Gereja Katolik bertanggung jawab atas Holocaust ramai dibicarakan orang. Maka, sambutan yang besar diberikan ketika pada bulan Maret 1998, Komisi Vatikan Urusan Hubungan Keagamaan Dengan Orang-Orang Yahudi menerbitkan dokumen yang bertajuk We Remember: A Reflection on the Shoah.

Meskipun dokumen itu disambut baik oleh sebagian kalangan, banyak yang merasa tidak puas akan isinya. Mengapa? Apa keberatannya?

Anti-Yudaisme
dan Anti-Semitisme

Dokumen Vatikan tersebut membedakan antara anti-Yudaisme, yang untuknya gereja mengaku bersalah, dan anti-Semitisme, yang disangkal oleh gereja. Banyak orang merasa tidak puas akan pembedaan itu, serta kesimpulan yang dihasilkannya. Rabi Jerman, Ignatz Bubis berkata, ”Bagi saya, mereka seolah-olah mengatakan melalui dokumen ini bahwa yang bersalah sebenarnya bukan mereka, melainkan pihak lain.”

Meskipun sejarawan Katolik Italia, Giorgio Vecchio menerima pembedaan antara anti-Yudaisme dan anti-Semitisme, ia menunjukkan bahwa ”permasalahannya juga mencakup soal memahami bagaimana Gereja Katolik yang anti-Yudaisme mungkin telah turut mengembangkan perasaan anti-Semitisme”. Hal ini sungguh menarik sehingga surat kabar Vatikan L’Osservatore Romano edisi 22-23 November 1895 menerbitkan sebuah surat yang bunyinya antara lain, ”Pada hakikatnya, semua orang Katolik yang tulus bersikap anti-Semit: demikian pula dengan imam-imamnya, yang berada di bawah kewajiban doktrin dan pelayanan.”

Akan tetapi, bagian isi dokumen vatikan yang paling banyak memancing kritik adalah pembelaan terhadap tindakan Pius XII paus yang dilantik pada awal dimulainya Perang Dunia II. Pius XII adalah mantan nunsius (wakil paus) untuk Jerman dari tahun 1917 hingga tahun 1929.

Membungkamnya
Pius XII

Pakar hukum Italia, Francesco Margiotta Broglio tidak berpendapat bahwa dokumen itu ”memberikan penjelasan atau keterangan baru terhadap pokok perdebatan yang paling meluas yakni soal ’membungkamnya’ Paus Pius XII, yang disinyalir berdasarkan simpatinya pada Jerman serta tindakan-tindakan diplomatisnya terhadap rezim Nazi sebelum dan selama masa jabatannya sebagai paus”.

Sebagian besar komentator sependapat bahwa tidak soal bagaimana seseorang memandang pentingnya dokumen We Remember, ada pertanyaan yang ”tetap menganga lebar”, yakni mengapa para pemimpin Gereja Katolik tetap membungkam terhadap genosida di kamp konsentrasi Nazi. Menurut sejarawan Amerika, George Mosse, dengan memilih untuk tetap membungkam, Pius XII ”menyelamatkan gereja namun mengorbankan pesan moralnya. Ia berperilaku seperti seorang pemimpin Negara, bukan seperti seorang paus”. Para pengamat Vatikan yang terinformasi percaya bahwa faktor penyebab kelambatan terbitnya dokumen itu adalah kesulitan dalam menjelaskan peranan Pius XII dalam Holocaust.

Dokumen yang membela Paus Pius XII itu telah menyinggung perasaan banyak orang. ”Sikap bungkam terhadap ’kebungkaman paus’ membuat dokumen ini mengecewakan,” tulis Arrigo Levi. Elie Wiesel, pemenang Hadiah Nobel untuk Perdamaian pada tahun 1986, berkata, ”Bagi saya, pengakuan bahwa kami orang-orang Yahudi seharusnya bersyukur pada Pius XII adalah ’perbuatan bidah’.

Melemparkan
Kesalahan

Dokumen itu menggunakan konsep pembedaan tradisional yang diajukan oleh para teolog Katolik, yang berpendapat bahwa gereja sebagai suatu badan adalah suci dan dilindungi dari kesalahan oleh Allah, sementara anggotanya, yang adalah para pedosa, adalah pihak yang patut dipersalahkan atas perbuatan jahat yang dilakukan. Amanah Vatikan berbunyi, ”Pembelaan rohani dan tindakan nyata dari umat Kristen lainnya bukanlah sesuatu yang dapat diharapkan dari para pengikut Kristus. . . . . [Mereka] tidak cukup kuat untuk angkat suara dalam bentuk protes. . . . Kami menyesalkan kesalahan dan kegagalan putra-putri Gereja itu.”

Akan tetapi, melemparkan kesalahan kepada anggota gereja dan bukannya menerimanya sebagai kesalahan institusi tampak bagi mayoritas orang sebagai langkah kemunduran yang besar, jika dibandingkan dengan permintaan maaf secara terbuka akhir-akhir ini. Misalnya, Gereja Katolik Roma di Prancis mengeluarkan ”Deklarasi Pertobatan”, yang meminta Allah dan orang-orang Yahudi mengampuni ”ketidakpedulian” Gereja Katolik terhadap penganiayaan atas orang-orang Yahudi di bawah pemerintahan Vichy pada masa perang Prancis. Dalam pernyataan yang dibacakan oleh Uskup Agung Olivier de Berranger, gereja mengaku telah membiarkan kepentingannya ”mengaburkan desakan Alkitab untuk merespek setiap manusia yang diciptakan dalam gambar Allah”.

Deklarasi Prancis sebagian menyatakan, ”Gereja harus mengakui bahwa berkenaan dengan penganiayaan atas orang-orang Yahudi, dan khususnya mengenai begitu banyaknya dekret yang bersifat anti-Semit dari pemerintah Vichy, ketidakpedulian jauh melampaui perasaan marah. Sikap bungkam merupakan keharusan, dan angkat suara guna membela korban merupakan dispensasi. . . . Hari ini, kami mengaku bahwa kebungkaman ini adalah kekeliruan. Kami juga mengakui bahwa gereja di Prancis gagal menjalankan misinya sebagai pendidik hati nurani masyarakat.”

Lebih dari 50 tahun setelah tragedi Shoah, atau Holocaust, yang mengerikan itu, Gereja Katolik masih belum dapat menerima kenyataan dari sejarahnya sendiri—yang, dengan kata lain, penuh kebingungan dan kebungkaman. Tetapi, ada pula pihak-pihak yang tidak pernah terpaksa mengambil langkah demikian. Saksi-Saksi Yehuwa, suatu kelompok agama minoritas yang dengan kejam dianiaya oleh Nazi, tidak sudi berkompromi.

Sebagaimana telah semakin jelas akhir-akhir ini, bertentangan dengan anggota-anggota gereja, Saksi-Saksi mencela kebrutalan Nazi. Dan, itu bukan hanya dilakukan secara pribadi, melainkan juga melalui juru bicara resmi dan publikasi mereka. Sejarawan Christine King, wakil rektor Staffordshire University di Inggris, menjelaskan, ”Saksi-Saksi Yehuwa memang angkat suara. Mereka angkat suara sejak awal mula. Mereka angkat suara secara terpadu. Dan, mereka angkat suara dengan keberanian yang luar biasa, yang seharusnya diteladani oleh kita semua.”
[Catatan
Kaki]
Shoah
adalah sebutan dalam bahasa Ibrani untuk Holocaust, yakni pembantaian massal oleh Nazi terhadap orang-orang Yahudi, Gipsi, Polandia, Slavia, dan suku bangsa lainnya selama Perang Dunia II.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar